Korupsi Massal Wakil Rakyat Daerah
Kota Malang, Jawa Timur, saat ini mendadak menjadi perhatian nasional. Bukan karena buah apel khasnya, melainkan karena korupsi massal yang terjadi di DPRD Kota Malang.
Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD-nya telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Sekarang DPRD Kota Malang hanya tersisa 4 anggota. Ke-41 anggota DPRD Kota Malang tersebut diduga menerima uang suap dari Wali Kota Malang (nonaktif) Moch Anton, yang juga menjadi tersangka. Uang suap senilai Rp 12,5 juta-Rp 50 juta per anggota ini dimaksudkan untuk memuluskan pengesahan APBD Perubahan Kota Malang Tahun 2015.
Korupsi secara massal yang dilakukan oleh para wakil rakyat di Kota Malang tentu saja ironis dan memprihatinkan. DPRD yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap kerja eksekutif justru berkolaborasi untuk melakukan korupsi. Peristiwa ini tidak saja berimbas hanya ke Kota Malang, tetapi menimbulkan ketidakpercayaan rakyat kepada hampir semua parlemen di daerah.
Meski mengejutkan, fenomena korupsi massal yang melibatkan banyak anggota DPRD sesungguhnya bukan pertama kali terjadi. Pada April 2018, KPK menetapkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara sebagai tersangka korupsi. Selain KPK, pihak kejaksaan juga pernah menetapkan status tersangka korupsi kepada 44 anggota DPRD Provinsi Papua Barat periode 2009-2014.
Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch, bentuk korupsi anggota Dewan daerah adalah penyuapan dan penyalahgunaan anggaran. Praktik korupsi terjadi dalam tugas dan kewenangan yang dimiliki DPRD, yaitu pengawasan, penyusunan anggaran, dan pembuatan peraturan. Nilai suap yang diterima mulai dari belasan juta hingga miliaran rupiah. Besarannya sangat bergantung pada kedudukan anggota tersebut dalam DPRD. Tentu saja jatah suap untuk pimpinan DPRD atau fraksi lebih besar daripada anggota biasa.
Setidaknya ada lima modus korupsi yang umumnya dilakukan rombongan anggota DPRD. Pertama, menerima suap untuk memuluskan laporan pertanggungjawaban kepala daerah atau penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Suap cara ini sering kali disebut ”uang ketok palu”. Agar tidak ada penolakan dari legislatif, kepala daerah harus mengeluarkan uang suap untuk pimpinan maupun semua anggota DPRD.
Kedua, menambah pendapatan anggota dan pimpinan Dewan secara tidak sah melalui pos anggaran DPRD. Ketiga, menitipkan proyek atau alokasi khusus melalui anggaran yang diusulkan pemerintah. Keempat, penggunaan dana APBD tidak sesuai peruntukan dan tanpa bukti pendukung. Kelima, suap dalam proses penyusunan dan pengesahan sebuah peraturan daerah.
Selain untuk memperkaya diri sendiri, motif korupsi anggota Dewan adalah untuk menutupi biaya politik yang telah dan akan dikeluarkan menjelang pemilu legislatif. Dalam kasus korupsi di Malang, dari 41 anggota DPRD Malang yang ditetapkan sebagai tersangka, 20 orang mencalonkan diri lagi dalam Pemilu 2019.
Besarnya biaya politik untuk menjadi caleg dan penghasilan sebagai anggota Dewan yang dianggap tak memadai tampaknya membuat banyak wakil rakyat daerah ini nekat mencari tambahan dan juga korupsi. Akhirnya banyak politisi yang mencoba peruntungan dengan korupsi ketika menjadi anggota Dewan.
Tidak semata-mata persoalan integritas, faktor penyebab korupsi massal juga dipengaruhi oleh lemahnya pengawasan di internal DPRD maupun dari partai politik asal sang anggota. Fungsi Badan Kehormatan DPRD tidak berjalan efektif karena anggotanya berasal dari internal anggota DPRD yang juga bermasalah. Pengawasan dari partai di daerah juga tak optimal karena pimpinan partai sering menuntut anggotanya di DPRD untuk berkontribusi terhadap kebutuhan keuangan partai.
Maraknya korupsi massal anggota DPRD tidak dapat terus-menerus dibiarkan. Kasus korupsi yang terjadi di Malang dan Sumatera Utara seharusnya menjadi peringatan dan pelajaran bagi semua anggota DPRD untuk berhenti melakukan praktik korupsi. Langkah penindakan dan pencegahan perlu dilakukan agar kejadian memalukan ini tidak terulang pada masa mendatang.
Sebagai langkah penindakan, terhadap anggota Dewan yang terbukti korupsi, hakim sebaiknya menghukum pelaku dengan penjara maksimal dan mencabut hak politiknya agar tidak dapat dipilih sebagai wakil rakyat. Partai juga sebaiknya tak ragu mencopot posisi para kadernya yang korup di DPRD. Adapun untuk langkah pencegahan, pengawasan dari internal DPRD dan partai sebaiknya diperkuat. Terakhir, sebaiknya masyarakat juga perlu menghukum anggota Dewan yang korup dengan tidak memilih mereka pada Pemilu 2019 mendatang.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Mei 2018, dengan judul "Korupsi Massal Wakil Rakyat Daerah".