Korupsi dan Rontoknya Ideologi Negara
Orang mengatakan bahwa karena saat ini tidak ada gangguan dalam kehidupan bermasyarakat, revolusi dianggap masih jauh. Tuan-tuan, izinkan saya menyatakan bahwa Anda sekalian sedang menipu diri sendiri. Saya yakin, saat ini kita sedang tidur di atas gunung berapi….” (Alex de Tocqueville, On Democracy, Revolution, and Society: 1980).
Kita perlu memakai pidato Tocqueville di depan Dewan Konstitusi Nasional (Assemble Nationale Constituante), Perancis. Pada 1848 itu, ia mengingatkan Rezim Orleanis bahwa Perancis tidak sedang baik-baik saja. Peringatan yang sama berlaku bagi perpolitikan Indonesia saat ini bahwa negara ini sesungguhnya tidak sedang dalam keadaan normal dan dilanda guncangan politik yang luar biasa. Mengapa?
Episentrum persoalan
Bangsa ini terus diguncang skandal-skandal korupsi pasca reformasi. Selain skandal korupsi raksasa KTP-el, ada berbagai kasus rasuah yang pelakunya tertangkap tangan dalam operasi KPK. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah: apakah kecemasan kita sebagai anak bangsa terbatas pada lenyapnya uang negara yang dirampas koruptor?
Jawabannya, tidak. Episentrum masalah bukan semata kerugian finansial negara. Betul, kerugian finansial menjadi salah satu masalah pokok karena terjadi ketidakadilan, dimana ada satu atau dua orang kuat dan berkuasa kenyang, sementara jutaan rakyat kelaparan. Namun, jika kita serius menyelami, fokus utama yang jadi keharusan bagi elite bangsa terletak pada relasi sebab-akibat antara korupsi dan eksistensi negara. Muatan utama refleksi tidak lagi semata korupsi dan kerugian negara, tetapi permasalahan korupsi ideologis (ideological corruption).
Dalam korupsi uang negara, ada ancaman bahaya terselubung, yakni pembunuhan ideologi kenegaraan dan ideologi kebangsaan. Pembunuhan ideologi masuk dari pintu sindikalisme berupa pelaksanaan kebijakan-kebijakan (kotor) negara (baca: orang-orang korup berkuasa) untuk kepentingan persekongkolan jahat, kendati memakai baju kepentingan umum.
Dalam sindikalisme korupsi atau sindikat koruptor, empat pilar kebangsaan, seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang bersifat koeksistensif dikeroposi oleh kepentingan persekongkolan. Ekses yang paling mencelakakan adalah deklinasi tajam kepercayaan publik terhadap ideologi dan simbol-simbol kebangsaan. Dari situ, lahirlah gerakan-gerakan pencarian keselamatan publik.
Gerakan-gerakan primordial berslogan SARA belakangan ini sesungguhnya merupakan pijaran-pijaran kecil dari sumber letupan masalah, yakni sindikalisme korupsi. Gerakan-gerakan itu bisa saja kita sebut sebagai impian kolektif (collective dream), atau sekurang-kurangnya menjadi utopia bersama masyarakat kecil yang ingin segera keluar dari penindasan para wakilnya yang tak kunjung mewakili kepentingan mereka.
Dalam sindikat koruptor, jembatan representasi rakyat yang diembankan kepada kelompok kelas perwakilan, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, mengalami patahan tak tersambungkan. Menurut Gaetano Mosca, patahan paling mencolok ada pada kelakuan destruktif lembaga legislatif, berbuntut keraguan akan masa depan pemerintahan representatif (The Ruling Class, 1939).
Guncangan besar eksistensi bangsa ini terletak di sana. Sebab, dari sudut pandang sindikalisme, korupsi tidak lagi sekadar penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan diri atau orang lain. Namun, korupsi merupakan tindakan sekelompok orang yang berkuasa, yang sengaja menghancurkan ideologi negara lewat sindikat korupsi. Dalam sindikalisme korupsi bersemayam pengeroposan ideologi negara.
Cara mengukurnya bisa begini: andai kata kita sepakat bahwa pusat kehancuran negeri ini terletak pada korupsi, lalu korupsi belum bisa juga dibasmi, bisa dipastikan korupsi tidak lagi menjadi kelakuan-kelakuan kotor personal. Artinya, korupsi sudah masuk level sindikat korupsi (corruption syndicate); persekongkolan jahat di tingkat elite untuk merampas uang rakyat secara sistematis.
Persekongkolan jahat
Tesis ini sukar dibantah dan negeri ini telah berulang kali membuktikannya. Kekhasan dari sindikat atau persekongkolan jahat bisa diamati dalam masalah-masalah sederhana. Dalam sindikat atau persekongkolan jahat, tak ada pengakuan atas ”kelakuan-kelakuan yang salah, apalagi pengakuan kejahatan”, pun tak ada permintaan maaf karena dilakukan bersama-sama.
Jika korupsi di negeri ini tidak berupa sindikat, tak susah bagi kita untuk menyaksikan partai-partai yang meminta maaf jika kader-kadernya terjerat kasus korupsi. Dengan gampang pula kita melihat lembaga DPR/MPR memecat anggotanya yang terjerat skandal. Demikian halnya dalam lembaga eksekutif dan yudikatif. Mereka semua tak perlu bertele-tele berapologi politik dan publik. Sindikalisme korupsi bisa menjadi penyebab mengapa kultur apologi di negeri ini menjadi semakin mahal. Itulah beda politik kita dengan negara-negara yang sudah berkeadaban.
Jepang, misalnya, kelimpahan lembaga negara dan politisi yang memiliki etika dan moralitas tinggi. Penyebabnya bukan semata pada tingkat keadaban personal, melainkan mereka sudah sampai pada keadaban institusional. Untuk itu, dibutuhkan reformasi kelembagaan menyeluruh. Reformasi kelembagaan dimulai dari partai politik, legislatif, yudikatif, eksekutif, hingga aparat keamanan.
Jantung reformasi dimulai dari pembasmian korupsi. Sebab, rasuah tak semata soal jumlah uang negara yang ditilap, tetapi soal eksistensi negara dan perawatan ideologi kebangsaan.
EDUARDUS LEMANTO, Mahasiswa Pre-faculty Program Doktoral Filsafat Politik, Peoples’ Friendship University of Russia, Moskwa
--------------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2017, dengan judul "Korupsi dan Rontoknya Ideologi Negara"