Korupsi dan Cita-Cita Kaum Muda

KORUPSI ibarat pembusukan dalam tubuh seekor udang. Pembusukan dimulai dari kepala karena 'otak' udang dan kotorannya ada di kepala sekaligus.

Pemerintah adalah otak dari sebuah bangsa, maka pembusukan di tingkat pemerintahan akan menyebar ke publik. Masyarakat yang semula hidup bersahaja dengan semangat religius tinggi, pelan-pelan dipaksa menjadi pelaku korupsi, antara lain dalam pengurusan surat tilang atau kartu tanda penduduk.

Tentu, bayangan bangsa, Tanah Air dan bahasa yang coba digagas kaum muda pada 28 Oktober 1928 tidak seperti sekarang. Ada penyelewengan dari cita-cita kaum muda, juga pengkhianatan terhadap kaum pergerakan dan terpelajar yang melahirkan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Korupsi adalah salah satu cara pengkhianatan itu. Tanpa ada kontribusi apa pun dalam melahirkan sebuah bangsa, generasi sekarang berfoya-foya dengan segala keuntungannya, baik sebagai penyelenggara negara, usahawan, penggerak masyarakat sipil, bahkan sampai kepada 'nabi-nabi' pencerahan lainnya.

Kaum muda zaman sekarang mempunyai peran itu. Daripada hanya melenggang di ketiak penguasa dan pengusaha, sebaiknya kaum muda memainkan peran-peran strategisnya berupa penciptaan lingkungan bebas korupsi sehingga tidak ada lagi beban historis atas perilaku pengkhianatan yang dilakukan kepada penggagas dan penggerak Sumpah Pemuda 1928.

Penciptaan generasi bebas korupsi teramat penting karena persoalan korupsi diturunkan oleh lebih dari satu generasi. Pendidikan antikorupsi sangat layak dimulai sejak taman kanak-kanak. Paling tidak, dibutuhkan satu atau dua generasi lagi untuk mengeluarkan Indonesia dari negara korup di dunia.

Pendidikan menjadi sarana penting untuk memunculkan kesadaran itu. Tetapi tentunya dengan tidak mengurangi kerja keras lembaga-lembaga hukum hari ini untuk terus berjuang mengejar para pelaku korupsi itu.

Korupsi juga tidak berkaitan dengan demokrasi. Indeks Transparency International tentang negara-negara korup tidak berbanding lurus dengan indeks yang disusun Freedom House tentang negara-negara demokrasi.

Negara-negara nondemokratis seperti China, malah lebih baik dalam penanganan korupsi. Di Asia Tenggara, Indonesia yang menjadi negara demokrasi baru, malah kalah jauh dalam penanganan korupsi dari Malaysia dan Singapura yang kurang begitu demokratis.

Namun, pengalaman menunjukkan bahwa demokrasi membuka peluang bagi transformasi perilaku masyarakat dalam menghadapi korupsi. Ketika money politics berkembang, sebagian masyarakat ternyata juga permisif.

Bagi masyarakat, doa menolak rezeki tidak ada. Kemiskinan justru makin mempertebal sikap penerimaan atas nasib. Yang juga terjadi adalah keinginan si pemberi suap politik itu tidak semuanya dituruti oleh masyarakat. Peserta pemilihan umum (pemilu) kaya, baik partai atau perorangan, belum tentu menang.

Cara lain adalah membangun satu daerah bebas korupsi. Hal itu bisa dimulai dari desa, kecamatan, sampai kabupaten atau bahkan provinsi, juga departemen atau kementerian bebas korupsi.

Indra J Piliang, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 31 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan