Komisi Yudisial; Pemerintah Tidak Serius
Seleksi anggota Komisi Yudisial yang terlambat menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam pemberantasan mafia hukum. Akibat keterlambatan proses seleksi itu akan berujung pada kekosongan kepemimpinan KY.
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), dalam jumpa persnya di Jakarta, Minggu (27/6), menegaskan, Presiden telah melanggar undang-undang dan sumpah jabatannya untuk menjalankan UU. Hampir dipastikan, komisioner KY baru tidak akan terpilih pada 2 Agustus 2010.
KPP merupakan gabungan dari beberapa LSM, seperti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Donal Fariz mengatakan, apabila pemerintah benar-benar mau memberantas mafia hukum, tidak harus mulai dari Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, tetapi bisa dengan memperkuat KY. Padahal, menurut dia, keberadaan KY sangat strategis untuk memberantas mafia hukum di sektor peradilan. Selama lima tahun ini, ujarnya, sepak terjang KY tidak mengecewakan.
”Keterlambatan seleksi KY ini merupakan hal yang tidak bisa ditoleransi. Haram hukumnya jika Presiden ’lupa’ dengan agenda rutin ini. Apalagi melihat komposisi pemerintahan diisi dengan kabinet yang serba komplet, mulai dari menteri hingga staf khusus presiden,” kata Donal.
Menurut Donal, Panitia Seleksi KY hanya mempunyai waktu 36 hari lagi sampai dengan batas waktu 2 Agustus. Dengan waktu yang sangat sempit itu, menurut dia, mustahil Pansel akan mampu melakukan proses seleksi tepat waktu. ”Undang-undang telah mengatur rincian dan tahapan proses seleksi tersebut dan tidak mungkin salah satu tahapan akan diabaikan jika hendak ’memaksakan’ untuk selesai tepat waktu. Maka jelas, secara yuridis, pemerintah, dalam hal ini Presiden, telah melakukan pelanggaran terhadap UU KY,” katanya.
Meski demikian, ujar Donal, seharusnya Pansel tidak perlu memperpanjang masa pendaftaran calon anggota KY sampai bulan depan. ”Tahapan seleksi harus dipercepat, tetapi tidak boleh melampaui satu tahapan. Ada tahapan yang diberi waktu maksimal 15 hari, tetapi kalau bisa dilakukan dalam waktu dua hari, kenapa tidak,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Indonesia Legal Roundtable Asep Rahmat Fajar menambahkan, ketidakseriusan pemerintah semakin nyata karena Pansel KY dipimpin oleh seorang direktur jenderal. ”Hal ini bertolak belakang dengan Pansel KPK yang dipimpin seorang menteri. Bagaimanapun posisi tawar seorang menteri jauh di atas dirjen. Apalagi seleksi komisioner KY yang sudah berada di ujung tanduk. Kebutuhan terhadap pimpinan Pansel dengan posisi tawar yang kuat semakin dibutuhkan. Tidak bisa dimungkiri, komposisi Pansel KY ini menjadi salah satu tolok ukur keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan KY,” ungkap Asep.
Menurut Asep, DPR seharusnya meminta pertanggungjawaban Presiden untuk pelanggaran tugas dan kewajiban melaksanakan undang-undang. ”Bagaimanapun ini menjadi bagian dari fungsi pengawasan DPR,” katanya. (SIE)
Sumber: Kompas, 28 Juni 2010