Komisi Yudisial Diminta Tidak Bermain-main
Enam anggota Komisi Yudisial diingatkan untuk tidak ”masuk angin” atau bermain-main dengan menerima tawaran-tawaran tertentu dalam meloloskan calon hakim agung untuk dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. KY juga diminta tidak memilih calon yang dapat membahayakan atau memperburuk peradilan Indonesia.
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), Selasa (6/10) di Gedung Komisi Yudisial (KY), memberikan sapu lidi dan salah satu produk obat untuk menolak ”masuk angin” ke komisioner KY.
Menurut KPP, hanya 10 dari 35 calon hakim agung yang saat ini mengikuti seleksi yang layak direkomendasikan ke DPR. Calon lainnya membahayakan karena pernah terindikasi bermain perkara, menjadi makelar kasus, dan menghukum terpidana korupsi dengan hukuman yang di bawah batas minimal sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Wahyudi Djafar dari KPP meminta KY tidak terpaku pada ketentuan yang mewajibkan harus setor tiga kali jumlah kebutuhan hakim agung atau 18 orang. KY diminta untuk mengedepankan kualitas dibandingkan dengan kuantitas. ”Ini penting untuk memperbaiki institusi peradilan,” ujar dia.
Wahyudi juga meminta agar seluruh komisioner KY belajar dari kasus Irawadi Joenoes, terpidana suap dalam kasus jual beli tanah KY. Ia berharap komisioner KY tidak tergoda pada janji atau sponsor apa pun yang mungkin ditawarkan para calon atau yang mendukungnya.
Ketua KY Busyro Muqoddas berjanji akan mempertimbangkan masukan serta nama-nama calon yang diduga bermasalah tersebut. Mengenai sapu lidi dan obat antimasuk angin, Busyro pun menghargainya dan berharap tak satu komisioner KY pun yang akan meminum obat tersebut. ”Kalau meminum obat itu artinya benar-benar masuk angin,” ujarnya.
Syarat calon hakim
Busyro lebih lanjut mengungkapkan, tahun depan syarat menjadi calon hakim akan lebih berat. KY bersama Mahkamah Agung (MA) menggagas sebuah mekanisme seleksi dengan persyaratan lebih ketat, yaitu mempertinggi syarat masuk dari sekadar sarjana hukum menjadi magister hukum.
Busyro menuturkan, untuk menjadi calon hakim sekarang ini cukup dengan mengantongi gelar sarjana hukum. Ibaratnya, kemarin diwisuda, besok bisa langsung mendaftar sebagai calon hakim sehingga calon itu ”mentah”. Apalagi belum ada standar yang sama antara fakultas hukum satu dan yang lain. ”Tidak ada pula kurikulum yang terstruktur. Sebanyak 60 persen masih diolah sesuai kebutuhan lokal,” kata Busyro.
Terkait dengan hal itu, pihaknya melakukan terobosan dengan cara membuat suatu program pendidikan khusus calon penegak hukum. Tak cuma untuk hakim, program ini juga dapat dimanfaatkan untuk jaksa. Saat ini, tambahnya, KY bersama Departemen Pendidikan Nasional menggarap hal tersebut.
Selain itu, Rancangan Undang-Undang Peradilan Umum yang disahkan DPR pada 29 September lalu menegaskan bahwa KY harus dilibatkan dalam seleksi calon hakim yang selama ini dipegang MA. Terkait dengan hal itu, seleksi bersama merupakan peluang bagus KY dan MA memulai hubungan babak baru. KY siap segera merumuskan konsep perekrutan calon hakim yang tentunya dengan mengelaborasi konsep dalam seleksi calon hakim agung.
Sebelumnya, ujar Busyro, pihaknya telah membicarakan seleksi calon hakim tersebut dengan Ketua MA Harifin A Tumpa. Harifin telah berkunjung ke kantor KY membicarakan calon hakim agung yang dikirimkan MA ke KY. Disebutkan bahwa dari hasil evaluasi, nama-nama yang dikirimkan MA bermasalah. (ana)
Sumber: Kompas, 7 Oktober 2009