Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Ganti Jaksa Agung
Jakarta, antikorupsi.org (26/10/2015) – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mencopot dan mengganti Jaksa Agung. Desakan ini cukup beralasan, karena Jaksa Agung HM Prasetyo dinilai telah gagal melakukan penegakan HAM dan pemberantasan korupsi. Desakan tersebut disampaikan oleh koalisi dalam konfrensi pers bertajuk ‘Jokowi Harus Ganti Jaksa Agung’ di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (25/10/2015).
Menurut peneliti ICW Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Lalola Easter, selama ini kinerja jajaran di bawah Jaksa Agung HM Prasetyo dinilai tidak membawa dampak siginifikan bagi pemberantasan korupsi. Hal ini dilihat dari beberapa indikasi. Pertama, ada 12 poin dari 17 poin Strategi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpers) No.7/2015 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi 2015.
Kedua, berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014, kejaksaan masih memiliki piutang uang pengganti kurang lebih Rp 13 triliun yang belum dieksekusi, padahal kasusnya sudah berkekuatan hukum tetap. Contoh yang belum diekskusi misalnya aset Yayasan Supersemar sebesar Rp 4,4 triliun. Padahal, putusan Mahkamah Agung (MA) sudah keluar sejak bulan September 2015.
Ketiga, kerja Satuan Tugas Khusus Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus Tipikor) yang dibentuk Prasetyo tidak maksimal. Terbukti, mangkraknya kasus dugaan korupsi Transjakarta yang menjerat Udar Pristono dan kandasnya kasus korupsi Dahlan Iskan karena putusan praperadilan yang diajukan tersangka.
Keempat, institusi kejaksaan masih tidak transparan. Terbukti, proses pengisian jabatan strategis di kejaksaan belum dilakukan dengan proses lelang jabatan. “Selain soal mekanisme proses seleksi yang diskriminatif serta sarat kepentingan politik. Banyak juga masyarakat yang meragukan independensi dan integritasnya,” Ujar Lola
Lola menegaskan, dalam Surat Keputusan Jaksa Agung No: Kep-074/A/JA/05/2014 tanggal 13 Mei 2015, ada 16 pejabat eselon II dan III yang akan dirotasi. Begitu pula dengan Bayu Adhinugroho yang ditunjuk sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi DKI tanpa kejelasan kompetensinya. Padahal, yang bersangkutan adalah anak dari Prasetyo. Ini menunjukkan proses yang tidak transparan
Sementara itu, dari sisi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), koordinator Kontras Haris Azhar menyatakan, Prasetyo terlihat tidak memiliki kemampuan dalama penegakan HAM. Hal ini dibuktikan dengan tidak diketahuinya pengalaman dan kontribusi dalam penegakan HAM, pemberantasan korupsi maupun hukum.
“Sudah saatnya dia (Prasetyo) digantikan atau mengundurkan diri dari jabatannya. Pasalnya dia telah merusak peranan Jaksa Agung,” kata Haris.
Setidaknya ada tiga permasalahan yang selama ini dilakukan. Pertama, selama 13 tahun (2002-2015) Jaksa Agung tidak pernah mau melakukan penyidikan atas tujuh berkas perkara pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Bahkan selama ini berkas-berkas tersebut selalu dikembalikan dengan beribu alasan.
Kedua, Jaksa Agung HM Prasetyo melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Tindakan tersebut jelas bertentangan dengan tugas dan wewenang kejaksaan sesuai Pasal 30 ayat 1 Huruf d UU No 16/2004 tentang Kejaksaan Agung jo. Pasal 21 ayat 1 UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM
Ketiga, Prasetyo merusak kredibilitas Indonesia di mata internasional terkait hukuman mati. Padahal hukuman mati di dunia hanya dilakukan pada hal-hal tertentu.
"Dia tidak argumentatif. Dia mendorong proses hukuman mati dengan cara bergelombang, dan itu mendapat tekanan (internasional). Justru dialah yang menciptakan kegaduhan di negeri ini," ujarnya.
Koordinator bidang hukum YLBHI Julius Ibrani, menambahkan bahwa Prasetyo sebagai Jaksa Agung sejatinya memiliki peran dalam kriminalisasi terhadap 49 orang yang diperiksa, ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri. Diantaranya kasus hukum yang menjerat mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Bukan hanya itu, proses penunjukan dirinya juga cukup kental bernuansa politik. Sebab, penempatannya sebagai Jaksa Agung cenderung mencerminkan bagi-bagi kursi kepada partai politik pendukung Presiden Jokowi pada pemilu 2014 lalu.
“Buktinya saat pemilihannya, presiden tidak melibatkan KPK dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai parter dalam pengambilan pertimbangan dalam penunjukkan jabatan Jaksa Agung tersebut,” tegasnya. (Ayu-Abid)