Kinerja Polri; Komisi Kepolisian Nasional Harus Bisa Awasi Polisi
Draf revisi Peraturan Presiden Nomor 17/2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional dinilai belum memberikan kewenangan yang lebih kuat kepada Kompolnas sebagai lembaga pengawas Kepolisian Negara RI. Dalam revisi perpres itu, Kompolnas tetap diperankan sebagai lembaga konsultatif yang hanya memberikan rekomendasi kepada Presiden.
Hal itu diungkapkan Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Papang Hidayat di Jakarta, Senin (22/11). ”Draf revisi Perpres tentang Kompolnas belum menjadikan Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal dengan kewenangan yang lebih kuat,” kata Papang.
Dalam draf revisi perpres itu, lanjut Papang, peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tetap seperti sekarang ini, yaitu sebagai lembaga konsultatif yang hanya memberikan rekomendasi. Dengan peran itu, proses reformasi birokrasi Polri akan semakin sulit dilakukan.
Padahal, menurut Papang, banyak dugaan kasus di Polri yang menjadi perhatian masyarakat, seperti kasus pelarian Gayus dari rumah tahanan Markas Brimob, Polri, dugaan kasus rekening gendut, dan dugaan kasus penganiayaan oleh oknum polisi.
Menurut Papang, draf revisi perpres itu seharusnya memberikan kewenangan lebih kuat kepada Kompolnas. Misalnya, kewenangan menyelidiki atau memeriksa anggota polisi yang diduga melakukan tindak pidana, seperti korupsi, penganiayaan, atau tindak pidana lain.
Secara terpisah, anggota Kompolnas, Novel Ali, mengakui, proses revisi Perpres Nomor 17/2005 masih dilakukan. Dengan revisi itu, Kompolnas memang ingin kewenangannya diperkuat. Misalnya, kewenangan menyelidiki dan menyidik polisi yang diduga melakukan tindak pidana atau pelanggaran.
”Selama ini, kan, banyak keluhan masyarakat terkait dengan kinerja kepolisian. Misalnya, keluhan mengenai penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, perilaku buruk terhadap tahanan, dan pelayanan yang diskriminatif,” ungkap Novel. (FER)
Selasa, 23 November 2010 | 04:14 WIB
Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi diyakini tidak akan banyak berubah jika pimpinannya sudah lengkap berjumlah lima orang. Ini karena sudah ada sistem yang lebih menentukan kinerja KPK
”Jangan berpikir, jika pimpinan sudah lengkap, kinerja akan berubah drastis. (Kinerja) di (Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK) sana tidak ditentukan satu orang, tetapi sistem,” kata Ketua Komisi III DPR Benny K Harman, Senin (22/11) di Jakarta.
Pada Rabu atau Kamis, menurut Benny, Komisi III DPR akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan untuk memilih pimpinan KPK pengganti Antasari Azhar yang telah diberhentikan tetap. Pada September lalu, pemerintah sudah mengirimkan dua nama calon pengganti Antasari kepada DPR, yaitu advokat Bambang Widjojanto dan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas.
Benny menegaskan, Bambang atau Busyro akan dipilih untuk masa jabatan satu tahun, yaitu sampai akhir tahun 2011 sesuai akhir jabatan Antasari Azhar yang seharusnya.
”Dua-duanya sama, keberhasilannya sama,” jawab Benny saat ditanya tentang peluang Bambang yang lahir tahun 1959 dan Busyro yang dilahirkan tahun 1952.
Yang lebih tua
Namun, seusai rapat gabungan partai politik pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau Setgab tanggal 21 September, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar mengatakan akan memilih calon pimpinan KPK yang lebih bijaksana.
Sambil tertawa, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy memberikan sinyal yang lebih jelas. ”Kami akan pilih calon yang lebih tua,” katanya (Kompas, 24/9).
Setgab, yang beranggotakan Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, PPP, dan PKB, menguasai 423 dari 560 kursi di DPR atau 75,5 persen. (NWO)
Sumber: Kompas, 23 November 2010