Kinerja Menteri Kesra Mengecewakan

Pada tanggal 20 Oktober mendatang, presiden dan wakil presiden terpilih yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI. Tak lama setelah itu, SBY-Boediono akan membentuk kabinet baru.

Itu berarti, tidak lama lagi para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) akan mengakhiri tugas mereka. Di antara mereka ada menteri yang telah bertugas selama lima tahun, dan ada yang kurang dari itu. Sejauh mana para menteri berhasil menjalankan tugas mereka? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68 H dengan Direktur Pusat Kajian Politik UI Sri Budi Eko Wardhani (S), peneliti Indonesia Corruption Watch Ade Irawan (A), dan peneliti politik Charta Politica Yunarto Wijaya (Y):

Bagaimana Anda menilai kinerja menteri di bidang politik?

S: Kalau kita bicara bidang politik itu di bawah koordinasi Menkopolhukam. Dalam bidang politik, sistem demokrasi memang sudah berjalan. Jadi, relatif sudah tersedia struktur yang relatif demokratis. Misalnya untuk pemilihan kepala daerah, sudah diatur dalam UU Nomor 32. Jadi, dalam bidang politik, kabinet ini relatif tinggal mengimplementasikan amanat konstitusi dan UU. Tapi ada hal yang harus kita cermati, khususnya di departemen dalam negeri. Depdagri adalah pos yang strategis. Dalam berbagai kabinet selalu diisi oleh orang dekat dan kepercayaan presiden. Yang kita lihat adalah pendataan kependudukan masih krusial. Ada pendataan pemilih yang bermasalah pada pemilu kemarin. Data awal penduduk yang diolah Depdagri tidak valid sehingga menyulitkan KPU. Karena itu, ke depan, data kependududkan inilah yang harus segera diperbaiki.

Secara keseluruhan mereka mendapat nilai plus atau minus?

S: Tidak seperti itu menilainya. Selain masalah kependudukan juga adalah masalah desentralisasi dan otonomi daerah. Depdagri punya tugas penting dalam hal pemberdayaan daerah - otda. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Depdagri sebagai wakil pusat melakukan pengawasan prefentif dan represif. Jadi walaupun DPRD punya kewenangan menghasilkan perda, namun daerah harus melaporkan kepada pusat - Depdagri. Tapi kita tahu bahwa banyak perda yang kontroversial. Anggaran APBD juga banyak yang tidak berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat.

Bagaimana kinerja menteri bidang kesra?

A: Saya lebih menyoroti kinerja menteri bidang pendidikan, kesehatan dan agama. Di departemen itu kalau kita beri nilai umumnya tidak lulus ujian. Ada beberapa indikator. Di departemen tadi mestinya mempemudah publik untuk mendapatkan haknya. Misalnya di pendidikan mendapatkan layanan pendidikan bermutu, murah dan gratis. Di kesehatan, dan agama, masyarakat mendapat layanan kesehatan dan dipermudah menjalankan ibadat. Tapi kinerja di tiga departemen itu sangat mengecewakan. Renacana strategis 2004-2009 di depdiknas cukup bagus. Paling tidak ada tiga hal yang ingin dicapai. Pertama, perluasan akses. Artinya, tidak ada lagi anak, terutama di tingkat pendidikan dasar, yang tidak sekolah. Kedua, peningkatan mutu. Tidak hanya gratis tapi bermutu. Istilah Prof Winarno Surrachmad, gratis juga bermakna. Ketiga, ada akuntabilitas publik.  Realitasnya kita melihat akses mendapatkan layanan pendidikan terhambat, mulai hambatan administrati hingga biaya. Institusi pendidikan bukan menjadi layanan publik tapi seperti hotel. Yang ada uang dapat pendidikan bagus.

Bidang kesehatan?

A: Sama juga. Kita melihat fenomena bahwa masyarakat lebih percaya pada Ponari (dukun cilik, red.) daripada puskesmas. Ini terjadi karena kegagalan institusi kesehatan menyediakan pelayanan. Kalau ingin mendapatkan layanan kesehatan yang baik masyarakat harus membayar berapa juta. Program yang didorong depkes banyak berupa pengadaan. Padahal, bukan hanya program kuratif tapi juga prefentif. Dari penelitian kami, program jamkesmas tidak tepat sasaran. Kelompok miskin yang jadi sasaran utama minim informasi. Karena itu mereka sulit akses ke situ. Akhirnya yang dapat jamkesmas adalah yang dekat dengan birokrasi terutama di tingkat lurah. Dari penelian kami pemegang kartu jamkesmas tidak menggunakan kartu karena takut layanan jelek.

Bagaimana Anda melihat susunan kabinet mendatang?

Y: Ada beberapa indikator untuk menganalisa pola atau susunan dan struktur kabinet mendatang. Pertama, dari perspektif sejarah. Dikotomi menteri dari tokoh politik, profesional atau militer ternyata sudah ada polanya sejak dulu. Menko misalnya hanya ada tiga. Menteri keuangan misalnya selalu dijabat oleh professional. Menteri agama biasanya dari ormas tertentu. Tradisi ini terus dibawa hingga saat ini. Kedua, pola karakter presiden. Untuk SBY- hemat saya - akan menggunakan tiga variabel dalam memilih menteri. Saya menyebutnya 3C: Pertama, competensi. Landasannya zaken kabinet. Kedua, aspek cluster, seperti umur, politik, kedaerahan, dan etnis. Ketiga, chemistry. Tentu saja, dengan kekuatan yang besar, SBY akan memilih menteri yang loyal.

Pola representasi memengaruhi kinerja menteri?

Y: Ya jelas berpengaruh. Ketika suatu negara harus beradapatasi dengan lingkungan yang berubah tapi kita memakai tradisi yang hanya memakai aspek reseprentasi, saya pikir ini sebuah stagnasi. Saya melihat pemilu kemarin menunjukkan bangsa kita sudah cukup rasional, tidak tersekat batasan primordial. Saya bisa memilih calon dari daerah lain. Tapi saya tidak yakin pemerintah bisa seperti itu. Kalau itu yang terjadi maka akan terjadi stagnasi. Yang menarik dilihat juga adalah menteri dari partai politik. Mereka yang banyak dipilih adalah orang struktural partai, seperti ketua umum atau sekjen. Dalam hal ini nuansa politisnya jauh lebih besar daripada fit and proper test. Indikator seperti ini sepertinya akan terjadi.

Sumber: Jurnal Nasional, 8 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan