Kepemimpinan Ruki Dapat Lemahkan KPK
Kepemimpinan Ruki Dapat Lemahkan KPK
Semenjak ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK, Taufiequrahman Ruki justru dinilai dapat mengancam keberadaan KPK sebagai lembaga independen dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Setidaknya hal itu bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan Ruki saat dimintai keterangan oleh jurnalis yang mengesankan sikap kompromistis atas berbagai macam usaha pelemahan KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat ada enam pernyataan yang mengancam pemberantasan korupsi.
Pertama, terkait kriminalisasi terhadap 21 penyidik KPK, Ruki mengatakan bahwa kalau 20 (penyidik KPK) ada masalah, dirinya dapat mengganti dengan 40 penyidik baru yang lebih berkualitas. Kedua, terkait keberlanjutan perkara Komjen Budi Gunawan (BG) di KPK. Ruki menyatakan, probabilitasnya sama (untuk dilanjutkan atau dihentikan). Ketiga, terkait kemungkinan pelimpahan perkara BG ke Polri dan Kejagung. Ada tiga pernyataanya yang menguatkan hal tersebut. Ruki mengatakan memang ada mekanisme pelimpahan atau pengambil-alihan perkara oleh KPK, sepanjang dalam koridor hukum karena KPK tidak dapat mengeluarkan SP3. Kemungkinan ada (pelimpahan), sejauh sesuai prosedur yang ada di KPK, tandasnya beberapa waktu lalu. Selain itu, Ruki menyatakan kalau KPK dinyatakan tidak berwenang menangani kasus BG sebagaimana putusan pra-peradilan, kasus itu bisa dilimpahkan ke Polri atau Kejaksaan Agung. Bahkan dia menambahkan, “Pelimpahan kasus BG di Kejaksaan Agung bisa menjadi win-win solution, karena buat saya yang penting caranya sesuai dengan aturan hukum.”
Kempat, berkaitan dengan pengajuan praperadilan Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama. Ruki mengatakan kalau KPK harus menghargai langkah itu karena praperadilan adalah hak dari seseorang yang dijadikan tersangka. Kelima, terkait dengan kriminalisasi pimpinan KPK dan Anggota KPK. Ruki mengatakan, “Kesimpulan saya, tidak ada konflik KPK-Polri. KPK menyidik dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan personil Kepolisian. Polri juga memproses laporan tentang dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang KPK.” Selain itu, Ruki juga mengatakan, “Kasus yang melibatkan pimpinan KPK non-aktif AS dan BW itu domain sepenuhnya Mabes Polri. Jadi saya harus tahu diri dan tidak akan mencampuri urusan itu, kasus ini sudah memenuhi persyaratan dan tidak bisa di SP3".
Dan terakhir, Ruki tidak memberikan upaya penguatan kepada penyidik indepeden KPK. Hal ini diungkapkannya dengan meminta bantuan penyidik tambahan di KPK dari Kepolisian, “Makanya dalam pertemuan tadi, saya bilang kepada Plt Kapolri, jika Polri ingin memperkuat KPK, mereka mengirim 50 penyidik baru.” Selain penyidik, Ruki juga meminta tambahan penuntut dari Kejaksaan. ”KPK datang menemui Prasetyo (Jaksa Agung) untuk meminta bantuan 50 jaksa, Alhamdulilah kami berterima kasih kepada Pak Jaksa Agung karena diberikan tenaga tambahan. Semoga bsia direalisasikan dalam waktu tidak lama.”
Banyaknya pernyataan Ruki yang menuai kontroversi dipandang kontra-produktif oleh pengamat hukum sekaligus Dekan Hukum Universitas Jember, Widodo Ekatjahjana dan pakar hukum Tata Negara Universitas Pharayangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf. MenurutWidodo Ekatjahjana, Ruki seharusnya lebih menunjukan kerjanya untuk pemberantasan korupsi ketimbang terlalu banyak berbicara di publik. “Kita mau Plt Pimpinan KPK saat ini lebih menunjukan kerjanya yang kongkrit ketimbang banyak bicara di publik,” kata dia saat dihubungi antikorupsi.org, Jum’at (27/2/2015).
Menurutnya, Ruki sebagai Plt Ketua KPK harus bekerja lebih keras dalam pemberantasan korupsi. Selain itu Ruki juga harus melakukan revitalisasi fungsi KPK. Tak kalah penting ialah meningkatkan fungsi KPK sebagai lembaga penegak hukum untuk efektif dalam berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan. “Kita belum bisa menilai, tetapi kita meminta Ruki agar banyak bekerja. Kita tunggu actionnya dari pada ngomong,” tegasnya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pharayangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan, komunikasi yang dilakukan Ruki sepanjang masih dalam koridor koordinasi dan komunikasi guna memperkuat sinergitas antar penegak hukum dalam pemberantasan korupsi masih dibenarkan. Namun, jika sebaliknya komunikasi yang dibangun hanya untuk menjadi ‘peredam’ KPK, maka akan mengakibatkan koordinasi dan komunikasi bisa disalah-gunakan.
“Lebih baik profesional saja, Karena KPK adalah lembaga penegak hukum independen, lebih baik membenahi kekurangan dalam memberantas korupsi. Kita harapkan KPK memiliki kemandirian lebih dari Kepolisian dan Kejaksaan,” katanya.
Selain itu, sebaiknya KPK memiliki sistem rekrutmen untuk penyidik dan penuntut secara mandiri tanpa bergantung Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini akan berdampak positif guna menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK.
“Jadi paling baik memang KPK punya penyidik dan penuntut sendiri. Hal itu dapat dilakukan dengan rekrutmen yang dilakuakn KPK secara mandiri,” ujarnya.
Kedepan, dia menegaskan, sebaiknya KPK memiliki aturan regulasi yang jelas terkait pergantian, penambahan atau pengalihan kewenangan dalam kepimpinan KPK. Hal tersebut seharusnya diatur oleh UU bukan atas keputusan pemimpin (presiden) karena dapat membuka ruang intervensi politik. “Kita butuh aturan yang lebih tegas dan detail di dalam UU KPK untuk mengatur proses pergantian kepemimpinan, sehingga jika ada masalah seperti sekarang, tidak diselesaikan melalui keputusan Presiden,” tegasnya.