Kepemimpinan BHD, Berantas Terorisme Oke, Kasus Korupsi Memble

DALAM dua tahun terakhir, kepemimpinan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) benar-benar diuji publik. Sejumlah masalah yang menjadi perhatian masyarakat harus dihadapi Polri. BHD dan jajarannya bisa dibilang hampir tak sempat bernapas lega.

Misalnya, kasus pembunuhan Dirut PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen pada Maret 2009 yang menjadi pertaruhan besar bagi jajaran reserse Polri. Alur dan sejumlah bukti pun mengarah pada keterlibatan Antasari Azhar, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu. Sontak, masyarakat kaget.

Antasari bersama perwira polisi Kombespol Wiliardi Wizar dan pengusaha Sigit Haryo Wibisono dijerat pasal pembunuhan berencana. Motifnya sama sekali tidak terduga, asmara caddy golf bernama Rani Juliani. Debat panjang antara pengacara dan polisi mewarnai kasus tersebut.

Saat ini, Antasari ditahan setelah divonis 18 tahun penjara. Pengacara Antasari, Ari Yusuf Amir, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu proses kasasi di Mahkamah Agung (MA). ''Kami akan terus memperjuangkan keadilan untuk Pak Antasari,'' katanya.

Kejadian besar lainnya yang sangat memukul kinerja Polri adalah saat Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror kecolongan oleh aksi kelompok teroris yang mengebom Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Sembilan orang tewas. Tujuh di antaranya warga asing. Lalu, 61 orang luka-luka (ringan hingga berat).

Saat itu, wajah BHD benar-benar muram. Sebab, pengeboman tersebut terjadi hanya sembilan hari setelah pemilihan presiden (pilpres) pada 8 Juli 2010 yang berjalan sukses.

Serangkaian operasi besar-besaran pun dilakukan. Hasilnya cukup lumayan. Bahkan, gembong teroris Noordin M. Top bisa ditembak mati di Solo pada 17 September 2009.

Pengamat terorisme dan intelijen Dr Wawan H. Purwanto menilai langkah Polri dalam memberantas terorisme layak diapresiasi. ''Prosedurnya berjalan baik, bertahap, dan sistematis,'' ungkap pria yang juga menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu. Rangkaian pengungkapan Densus 88 Mabes Polri bahkan berlangsung masif hingga jejaring Dulmatin dan kelompok teroris di Aceh bisa diungkap.

Kepercayaan publik kepada Polri sempat drop pada titik terendah saat polisi memenjarakan dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, Oktober 2009. Dua orang itu diduga terlibat perkara pemerasan dan suap. Menyusul desakan berbagai kalangan, Presiden SBY pun membentuk tim delapan untuk menginvestigasi kasus tersebut.

Lantas, muncul sosok Ang Tju Nek alias Anggodo Widjojo. Masyarakat makin tidak percaya pada polisi saat Mahkamah Konstitusi (MK) memperdengarkan rekaman pembicaraan Anggodo dengan sejumlah pejabat pada November 2009. Rekaman itu menyeret nama sejumlah petinggi Polri dan Kejagung. Akhirnya, Bibit dan Chandra bebas dan kembali aktif.

Setelah ribut kasus Bibit-Chandra, publik lantas disibukkan dengan perdebatan Cicak-Buaya yang dicetuskan Kabareskrim (saat itu) Komjen Pol Susno Duadji. Pada Januari-Februari 2010, Susno membuat kontroversi. Dia berani datang tanpa izin dalam sidang Antasari sebagai saksi meringankan.

Heboh kian bertambah ketika Susno membuka skandal kongkalikong antara mafia pajak Gayus Tambunan dan sejumlah jenderal polisi pada Maret 2010. Gayus pun dijemput di Singapura pada 30 Maret 2010. Hingga saat ini, sidang kasus itu masih berlangsung. Belum ada seorang pun jaksa yang menjadi tersangka. Juga, belum ada seorang pun jenderal yang masuk daftar tersangka.

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman menilai, kasus Gayus sama sekali belum tuntas. ''Banyak yang lolos dari jerat hukum dan sama sekali belum clear,'' tegasnya.

Misalnya, hingga kini belum ada seorang pun penyuap Gayus yang menjadi tersangka. ''Padahal, jelas-jelas Gayus mengakui uangnya dari penyuapan,'' ujarnya.

Belum selesai kasus Gayus, muncul isu rekening gendut milik sejumlah perwira (jenderal) Polri. Kasus tersebut juga masuk ''peti es'' setelah Mabes Polri mengumumkan tidak ada masalah pada 23 rekening perwira di antara 831 laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang masuk ke kepolisian.

Kasus tersebut juga memakan korban. Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun dipukul sekelompok orang. Tama adalah pengungkap kali pertama rekening mencurigakan milik perwira polisi ketika melapor ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Terkait kasus itu, majalah Tempo juga menjadi ''korban''. Kantor majalah tersebut di Jakarta dilempari molotov oleh orang tidak dikenal. Ada dugaan, pelemparan molotov itu terkait dengan laporan majalah Tempo soal rekening gendut milik perwira polisi. Laporan tersebut sempat direaksi Mabes Polri karena sampul majalah itu memuat karikatur perwira polisi yang membawa celengan babi yang diikat tali.

Semula Mabes Polri berencana menggugat majalah Tempo secara perdata dan pidana. Tetapi, rencana itu diurungkan setelah ada "intervensi" dari SBY. Polri pun kemudian menempuh mediasi lewat Dewan Pers.

''Kami mendesak Kapolri segera menuntaskan pengungkapan pemukulan Tama dan penyerangan Tempo sebelum pensiun. Kalau itu tak bisa, berarti kepemimpinan BHD gagal,'' ujar aktivis ICW Danang Widoyoko kemarin. Meski bagus dalam memberantas terorisme, BHD dinilai agak memble dalam menyelesaikan berbagai kasus korupsi. (rdl/c5/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 18 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan