Kejaksaan Hentikan Pengusutan Skandal Pajak Asian Agri?
Di tengah bergulirnya skandal pajak Asian Agri, muncul informasi mengejutkan. Kejaksaan Agung disebut telah memutuskan menghentikan penuntutan kepada delapan tersangka kasus pengemplangan pajak Asian Agri, grup perusahaan sawit terbesar di Indonesia, lewat diterbitkannya Surat Ketentuan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPP).
Sebelumnya, mega skandal pajak Asian Agri Group sudah tujuh tahun lalu terbongkar dan diusut Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung. Namun, hingga kini baru Suwir Laut, Manajer Pajak Asian Agri Group yang dihukum bersalah oleh Mahkamah Agung melakukan tindak pidana pajak pada Desember 2012 lalu.
Meskipun Suwir Laut dihukum dengan masa percobaan, namun putusan MA juga menghukum Asian Agri wajib bayar denda pajak sebesar Rp 2,5 triliun. Melalui Kejaksan Agung, Asian Agri akhirnya bersedia membayar denda tesebut kepada negara secara mencicil.
“Setelah Suwir Laut, masih ada total delapan tersangka lain yang proses hukumnya seolah-olah dibiarkan mengambang oleh Kejaksaan Agung,” tutur Emerson Yuntho dalam konferensi pers di kantor ICW (17/3).
Kedelapan tersangka itu antara lain: Semion Tarigan, Eddy Lukas, Linda Rahardja, Andrian, Willihar Tamba, Laksamana Adhyaksa, Tio Bio Kok dan Lee Boon Heng. Sukanto Tanoto selaku pemilik, maupun Asian Agri Group secara korporasi, juga belum tersentuh secara hukum.
Bukannya diproses ke tahap penuntutan, muncul informasi yang mengejutkan pihak Kejaksaan Agung baru-baru ini justru mengeluarkan Surat Ketentuan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPP) atas kedelapan orang tersangka tersebut.
Kejaksaan Agung beralasan proses hukum kedelapan orang tersangka tidak perlu lagi diteruskan karena telah diwakili Suwir Laut. Lagipula, dalih lainnya, Asian Agri telah diwajibkan membayar denda atas perkara pajak yang menyeretnya. Kejaksaan Agung juga menilai penghentian perkara merupakan pemenuhan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut Emerson, jika informasi ini benar, maka alasan Kejaksaan Agung menghentikan penuntutan kedelapan tersangka adalah keliru, tidak mendasar, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam menghentikan penuntutan, Kejaksaan Agung harus berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 140 ayat (2) huruf a, yang terang-terangan menjelaskan alasan penghentian penuntutan oleh Kejaksaan, yaitu: tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan tindak pidana, peristiwa yang terjadi bukan merupakan tindak pidana, atau dihentikan dengan alasan demi hukum.
Kejaksaan juga dinilai keliru dalam menggunakan asas nebis in idem dalam Pasal 18 ayat (5) Udang-undang Hak Asasi Manusia. Pasal ini menyebutkan: “Setiap orang tidak dapat dituntut kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
Padahal hingga saat ini, kedelapan orang tersangka belum pernah dituntut Kejaksaan atas perkara penggelapan pajak Asian Agri.
“Jadi mustahil mereka dituntut untuk yang kedua kali atas perkara yang sama,” tukas Emerson.
Sehingga, menurutnya, Kejaksaan Agung tak mungkin menggunakan asas nebis in idem dalam menghentikan penuntutan perkara ini yang nyata-nyata tak dapat diterapkan untuk kedelapan tersangka di atas.
Syarat asas nebis in idem
Selain itu, pasal 76 ayat 2 KUHP dan beberapa preseden putusan Mahkamah Agung menetapkan asas nebis in idem dengan syarat: putusannya harus berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusannya berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya.
“Putusan MA terhadap Suwir Laut adalah hukuman 3 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun dan denda. Bukan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum,” kata Emerson.
Maka, penghentian proses hukum terhadap Skandal Pajak Asian Agri akan menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum di bidang perpajakan dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung tentang Asian Agri, yang membuktikan adanya perbuatan yang sengaja dan terencana menggelapkan pajak (No 2239 K/PID.SUS/2012).
Tanpa alasan yang dipertanggungjawabkan, penghentian proses hukum ini juga dapat menimbulkan kecurigaan banyak pihak adanya konspirasi antara penegak hukum dengan pihak pengemplang pajak maupun dengan penguasa.
Selain itu, tindak penghentian ini juga bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Maret 2008 yang menghendaki penyelesaikan kasus hukum terhadap Asian Agri.
Uli Parulian, Peneliti Indonesian Legal Reosurce Centre, menyatakan bahwa penggunaan syarat nebis in idem dalam penerbitan SKPP bagi delapan tersangka ini tidak tepat.
Uli mengakui bahwa asas ini mensyaratkan putusan harus sudah berkekuatan hukum tetap. Namun, ada syarat kedua yang mengikat syarat pertama. Yaitu, substansi putusannya.
“Putusannya harus putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Nah, dalam kasus Suwir Laut, dia kan tidak diputus bebas. Ini tidak dipenuhi syarat ini oleh Kejaksaan,” terang Uli.
“Seharusnya tetap delapan tersangka ini diproses hukum dan dibawa ke pengadilan. Secara tidak langsung, putusan MA menyatakan demikian. Itu tanggungjawab perusahaan, termasuk direksi, pemilik, dan delapan orang ini juga termasuk di situ,” tegas Uli.
Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengemukakan bahwa jika kejaksaan benar mengeluarkan SKPP dan menghentikan penuntutan, maka kejaksaan mengabaikan putusan MA.
“Dalam amar putusan MA jelas dikatakan bahwa Suwir Laut telah melakukan secara sengaja dan terencana penghindaran pajak,” kata Prastowo. “Dalam putusan juga jelas disebutkan, ia tidak sendirian, tapi bersama-sama,” tambahnya.
Maka, lanjut Prastowo, dari perspektif Undang-Undang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (UU KUP), terutama pasal 32, 38, dan 39, Suwir Laut tidak memenuhi syarat sebagai kuasa atau pengusrus dalam UU Pengadaan Pajak.
“Justru Kejaksaan Agung harus menggunakan petunjuk dari putusan MA untuk mencari siapa saja yang belum dituntut dan dihukum dalam kasus ini,” tutur Prastowo.
Menurut Prastowo, dengan meneruskan proses hukum terhadap delapan tersangka ini, kita akan dapat mengetahui siapa sebenarnya beneficial owner (penerima manfaat) yang sebenarnya dari tindak pidana penggelapan pajak Asian Agri.
“Ini kesempatan bagi penyidik pajak untuk menerapkan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebab, terbukti ada keuntungan yang diperoleh, yaitu pengecilan pajak yang tidak dibayar, dan ini pasti menguntungkan orang, karena badan itu hanya alat untuk mendapatkan penghasilan,” pungkas Prastowo.
Baca juga: Banding Asian Agri Tak Menghentikan Penagihan Denda Pajak.