Kejaksaan Aktifkan Kemas dan M. Salim, Jadi Pelatih Satuan Antikorupsi di Daerah

Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rahman dan mantan Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus M. Salim bakal aktif lagi. Kejaksaan Agung akan memberikan tugas baru kepada mereka yang disebut-sebut terseret kasus suap jaksa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Urip Tri Gunawan itu.

JAM Pidsus Marwan Effendy mengatakan, dua jaksa senior itu akan diberdayakan untuk memberikan pelatihan kepada anggota satuan khusus (satsus) penanganan perkara korupsi di setiap kejaksaan tinggi. "Mereka perlu diberdayakan. Kebetulan satuan khusus di kejati-kejati yang sudah dibentuk sampai saat ini belum dapat pelatihan," kata Marwan kemarin (22/2). Hingga saat ini, baru satsus di Kejagung dan Kejati DKI Jakarta yang sudah mendapatkan pelatihan.

Tugas itu diberikan kepada jaksa-jaksa yang memiliki latar belakang pengalaman teknik pidsus. Mereka adalah tujuh orang staf ahli, termasuk Kemas dan Salim, plus 23 jaksa fungsional, yaitu mantan kepala kejati (Kajati), Wakajati, dan direktur. "Tiga puluh orang itu berkelompok, disebar bergantian," terang Marwan. Dia juga menyebut bahwa pelatihan tersebut bersifat sementara.

Mantan Kajati Jatim itu menegaskan, tidak perlu ada kekhawatiran dengan aktifnya kembali Kemas dan Salim. Sebab, mereka tidak mengurusi secara langsung kebijakan teknis dalam penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan perkara korupsi.

Tugas Kemas dkk, lanjut Kemas, hanya akan memberikan bimbingan cara-cara memberkas perkara, menyusun surat dakwaan, dan menyusun tuntutan pidana. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru malah bagus untuk mengurangi pengangguran terselubung para staf ahli dan (jaksa) fungsional," jelas Marwan.

Dia juga menegaskan, tidak akan ada istilah JAM Pidsus bayangan dengan aktifnya Kemas dan Salim. Kegiatan itu tetap disertai surat keputusan (SK) dan surat perintah (SP) sebagai pertanggungjawaban akomodasi. "Kegiatan tersebut sudah diberitahukan kepada para Kajati, bukan inspeksi dan eksaminasi," sambungnya.

Kemas dan Salim sebelumnya mendapatkan sanksi akibat terlibat dugaan suap kepada Urip senilai USD 660 ribu dari Artalyta Suryani alias Ayin terkait penyelidikan BLBI Sjamsul Nursalim. Namun, nasib baik masih menaungi keduanya dibandingkan Urip yang mendapatkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat sehingga tamat karirnya sebagai jaksa. Tidak hanya itu, Urip yang tertangkap tangan oleh KPK, 2 Maret 2008, diproses di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan telah divonis 20 tahun penjara serta denda Rp 500 juta oleh Pengadilan Tipikor. Putusan itu kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan banding pada 27 November 2008.

Kemas mendapatkan sanksi berupa pernyataan tidak puas dari pimpinan kejaksaan. Sanksi itu disebabkan Kemas melakukan pembicaraan melalui telepon dengan Ayin tentang konferensi pers kasus BLBI Sjamsul Nursalim. Sementara itu, M. Salim mendapatkan teguran tertulis karena menerima Ayin.

Terpisah, Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyesalkan rencana pengaktifan kembali Kemas dan Salim tersebut. Pengaktifan itu disebutnya seperti budaya di institusi, yaitu pejabat yang melanggar dimutasi namun tidak membutuhkan waktu lama untuk aktif dan promosi. "Seharusnya, jaksa agung lebih berupaya memulihkan kepercayaan publik pasca peristiwa Urip," kata Emerson di Kantor ICW kemarin. Dia mengkhawatirkan hal itu seperti Timtastipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) di era Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. (fal/agm)

Sumber: Jawa Pos, 23 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan