Kejagung Tahan Dua Pengelola Saham KPC
Kejaksaan Agung (Kejagung) menahan Dirut PT Kutai Timur Energi (KTE) Anung Nugroho dan salah satu direktur lainnya, Apidian Triwahyudi. Keduanya ditahan mulai tadi malam (26/5) setelah menjadi tersangka kasus korupsi pengelolaan dana penjualan saham (divestasi) perusahaan batu bara terbesar di Indonesia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), milik Pemkab Kutai Timur (Kutim).
Anung dan Apidian ditahan di Rutan Kejagung selama 20 hari. Selain menahan keduanya, kejaksaan telah menyita surat deposito senilai Rp 53 miliar.
JAM Pidsus Marwan Effendy mengatakan, dalam kasus tersebut, negara dirugikan USD 63 juta atau setara Rp 576 miliar. Selain melibatkan manajemen PT KTE, kasus itu diduga menyeret pejabat daerah di Pemkab Kutim. ''Nggak mungkin kalau tidak melibatkan (pejabat) daerah,'' kata Marwan di gedung Kejagung tadi malam (26/5).
Kasus penjualan saham perusahaan batu bara milik PT Bumi Resources Tbk ini bermula dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) pada 1982 dan 2002, yang mengharuskan KPC mengalihkan saham ke pemerintah Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, KPC wajib mendivestasikan 18,6 persen saham ke Pemkab Kutim yang wilayahnya menjadi tempat eksplorasi batu bara. Dengan alasan tak memiliki uang serta tanpa kompensasi apa pun dan tanpa persetujuan DPRD, Bupati Kutim Mahyudin (kini anggota DPR periode 2009-2014), pada 10 Juni 2004 mengalihkan hak pembelian saham KPC dari Pemkab Kutim ke KTE.
Berdasar suplementasi atas perjanjian jual beli saham pada 23 Februari 2005, KTE yang ternyata tak punya uang untuk membeli saham, kemudian mengalihkan hak beli sahamnya tersebut ke PT Bumi Resources 13,6 persen. PT Bumi Resources lantas memberikan kepemilikan 5 persen saham kembali ke KTE.
Dari penyidikan kejaksaan, diketahui bahwa pada 14 Agustus 2006 bupati Kutim telah mengajukan permohonan penjualan 5 persen saham itu. Dengan dalih mendapat persetujuan dari Pemkab Kutim dan DPRD Kutim, Anung selaku Dirut KTE menjual sebagian saham ke PT Kutai Timur Sejahtera (KTS) seharga USD 63 juta atau setara Rp 576 miliar.
Marwan menambahkan, tanpa mengacu tata cara pengelolaan keuangan daerah yang benar, dalam RUPS PT KTE di Hotel Gran Melia, Jakarta, pada 22 Agustus 2008, diputuskan penggunaan uang hasil penjualan saham itu. Sebanyak Rp 480 miliar diinvestasikan di PT Samuel Securitas, Rp 72 miliar di Bank IFI (kini dilikuidasi Bank Indonesia), dan untuk biaya konsultasi kepada Dita Satari Rp 5,7 miliar.
Sama sebelumnya, pengalihan hak pembelian saham KTE ini juga tanpa persetujuan DPRD dan tanpa kompensasi apa pun. Penjualan 5 persen saham ini juga bertentangan dengan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. ''Uang yang hilang contohnya investasi di Bank IFI (Rp 72 miliar) yang kini sudah kolaps. Penempatannya salah sehingga merugikan pemerintah daerah,'' tambah jaksa senior yang terhitung mulai hari ini dimutasi menjadi JAM Pengawasan.
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) memenangkan PT KPC sehubungan dengan gugatan dalam kasus perpajakan. Majelis hakim menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Ditjen Pajak (DJP) Kemenkeu atas pemeriksaan dugaan pidana pajak yang dilakukan manajemen PT KPC.
Data perkara di situs resmi MA di www.mahkamahagung.go.id menyebutkan, perkara tata usaha negara tersebut terdaftar dengan nomor 141 B/PK/PJK/2010 dan teregistrasi pada 29 Maret 2010. Pemohon perkara adalah Dirjen Pajak dan termohon adalah PT KPC yang dimiliki grup Bakrie.
Putusan majelis hakim agung diketuai Paulus Effendi Lotulung dengan hakim anggota Imam Soebechi dan Supandi. Itu berarti putusan tersebut menguatkan putusan pengadilan pajak yang membatalkan pemeriksaan dugaan pidana pajak pada PT KPC. Konsekuensinya, DJP tak bisa memeriksa bukti-bukti permulaan dugaan tindak pidana perpajakan PT KPC yang ditaksir mencapai Rp 1,5 triliun. (pra/aga/sof/jpnn/c2/agm)
Sumber: Jawa Pos, 27 Mei 2010