Kejagung Panggil Sejumlah Menteri; Dugaan Korupsi Pembelian Pesawat Merpati
Kejaksaan Agung berencana memanggil sejumlah menteri yang memutuskan pembelian pesawat MA-60 milik Merpati Nusantara Airlines. Pemanggilan itu untuk memperjelas dugaan penggelembungan dana (mark up) dan tindak pidana korupsi dalam pembelian pesawat buatan Xian Aircraft Company China tersebut.
“Secara pasti, siapa yang dipanggil tergantung Jampidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus),” kata Wakil Jaksa Agung, Darmono, di kantornya, Jumat (27/5).
Namun demikian, Kejagung belum dapat menyimpulkan jenis tindak pidana korupsi yang terjadi. Untuk mencari fakta tentang dugaan korupsi, Kejagung terus mengumpulkan data-data dan informasi. Sebelumnya, jaksa telah memeriksa Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines, Sardjono Johny Tjitrokusumo pada Rabu (25/5).
Menurut Darmono, dalam penyelidikan kasus itu pihaknya akan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Saya minta kepada Jampidsus untuk segera mengumpulkan data dan fakta, lalu ditelaah sejauh mana ada-tidaknya korupsi dalam kasus itu. Pengumpulan data belum selesai,” lanjut Darmono.
Dibiayai Kemenkeu
Seperti diketahui, setelah kecelakaan pesawat Merpati jenis MA-60 di laut Kaimana, Papua Barat pada 7 Mei 2011, muncul dugaan korupsi dalam proses pengadaan pesawat tersebut. Diduga terjadi mark up.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai pembelian 15 pesawat MA-60 terlampau mahal dan penuh kejanggalan. Pasalnya, harga resmi yang ditawarkan China kepada Indonesia 11,1 juta dolar AS per unit. Namun, harga tersebut membengkak menjadi 15 juta dolar AS per unit. Dengan demikian, total harga untuk pembelian 15 pesawat itu 220 juta dolar AS.
JK menegaskan, saat menjabat wapres, dia menolak pembelian 15 pesawat itu. Karena itu ia memastikan bahwa pembelian terjadi bukan di era pemerintahannya.
Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Sardjono Jhony Tjitrokusumo menyatakan bahwa pembelian 15 pesawat MA-60 dari China merupakan program yang dibiayai Kementerian Keuangan. Nilai pembiayaan melalui sistem subsidiary loan agreement (SLA) itu Rp 2,17 triliun.
SLA adalah perjanjian penerusan pinjaman antara Pemerintah Indonesia cq Kementerian Keuangan dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah atau Pemerintah Daerah sehubungan dengan proyek yang dilaksanakan BUMN/BUMD/ Pemda, dan dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri yang diteruspinjamkan (two steps loan). ”Dana itu bukan cash, melainkan berupa 15 pesawat,” jelasnya.
Menurut dia, harga pesawat itu sekitar 11 juta dolar AS per unit. Saat itu, tambah Jhony, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS Rp 10.000, jadi nilai pesawat itu sekitar Rp 110 miliar per unit. Pembelian MA-60 diputuskan pada 2006.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas proyek itu? Jhony mengatakan, pengambilan keputusan pembelian dilakukan berjenjang dari direksi, kemudian diajukan ke dewan komisaris.
Lalu, berlanjut ke Kementerian Negara BUMN, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. (D3,dtc-59)
Sumber: Suara Merdeka, 28 Mei 2011