Kejagung Geledah Ruang Dirut PT Pos
Kejaksaan Agung (Kejagung) tak mau berlama-lama mengembangkan penyidikan kasus korupsi dana nonbujeter PT Pos Indonesia. Setelah menahan tujuh tersangka, kemarin (22/7) penyidik menggeledah ruang kerja Direktur Utama (Dirut) PT Pos Hana Suryana di kantor pusat PT Pos di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Lima penyidik satuan khusus korupsi diturunkan untuk menggeledah. Tim yang dipimpin Sutopo Hendro itu mendatangi kantor pusat PT Pos sekitar pukul 12.00 WIB. Mereka langsung memasuki ruang kerja Hana di lantai II. Hana sendiri saat ini mendekam di rumah tahanan (Rutan) Kejagung.
Penggeledahan berlanjut ke ruang pembukuan di lantai III. Proses itu berlangsung tertutup dan dalam pengawalan ketat satpam PT Pos.
Penggeledahan baru berakhir sekitar pukul 17.00. Penyidik turun dari lantai III sambil menenteng satu kardus dan tas plastik berisi surat-surat dan dokumen.
Sutopo mengatakan, dokumen itu disita dari ruang keuangan, ruang pemasaran, dan ruang sekretariat. "Barang bukti yang lain masih dicari lagi," katanya.
Kuasa hukum PT Pos, Zul Armain Aziz, keberatan dengan penggeledahan tersebut. Sebab, kegiatan itu dilaksanakan tanpa seizin pengadilan. Apalagi, tim penyidik telah membawa paksa dokumen-dokumen milik perusahaan. "Kami mengajukan keberatan dan sedang mempertimbangkan untuk mengajukan praperadilan," ujarnya.
Zul Armain juga menyesalkan penahanan tersangka karena perkaranya masih sangat prematur. Selain itu, kebijakan dan pelaksanaan surat edaran SE 41/Dirop/0303 bisa saja belum lengkap dan utuh. ''Sebagai sebuah instrument marketing tools, kami melihat hal itu dalam perspektif untuk meningkatkan kinerja perseroan yang terbukti efektif dan terkait erat dengan internal dan eksternal perusahaan," ungkapnya.
Sementara itu, Corporate Secretary PT Pos Rudi Meiansyah menilai dugaan kasus korupsi di perusahaannya tak lebih masalah internal. Dari hasil audit internal, tak ditemukan kuitansi fiktif. Adapun sumber pembiayaan dan apresiasi eksternal telah direncanakan dan ditetapkan dalam anggaran perusahaan. "Itu melalui mekanisme RUPS (rapat umum pemegang saham)," jelasnya.
Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy mengatakan, penyitaan dilaksanakan untuk menghindari penghilangan barang bukti. "Sudah ada konspirasi menghilangkan barang bukti," kata Marwan usai syukuran peringatan Hari Bakti Adhyaksa di Kejagung kemarin.
Dia mencontohkan kasus korupsi di PT Pos Cabang Fatahillah, Jakarta. Hingga kini beberapa bukti seperti kuitansi maupun bukti pembukuan belum ditemukan.
Marwan juga menegaskan, kejaksaan boleh menggeledah sekaligus menyita barang bergerak, tanpa didahului pengajuan izin ke pengadilan. Sesuai perundang-undangan, penyidik baru meminta izin setelah dilaksanakan penyitaan. ''Itu kan karena benda-benda itu dapat dipindahtangankan,'' kata mantan Kapusdiklat Kejagung itu. Izin pengadilan, lanjut Marwan, harus didahulukan untuk penyitaan benda tidak bergerak. Misalnya, tanah dan bangunan.
Seperti diberitakan Jawa Pos (22/7), Kejagung menahan tujuh tersangka kasus korupsi penggunaan dana operasional nonbujeter PT Pos 2003-2004 senilai Rp 40 miliar. Tujuh tersangka tersebut termasuk Hana Suryana. (wir/fal/agm)
Sumber: Jawa Pos, 23 Juli 2008