Keberadaan Dua Jaksa Tak Jelas; Lima Jaksa Diberhentikan
Sidang Majelis Kehormatan Jaksa merekomendasikan lima jaksa diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil. Otomatis, mereka juga diberhentikan sebagai jaksa. Namun, dua dari kelima jaksa tersebut tidak diketahui keberadaannya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan menyampaikan, putusan sidang Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ) itu sebagai rekomendasi. ”Untuk disampaikan kepada Jaksa Agung. Baru Jaksa Agung memutuskan hukumannya,” kata Nainggolan di Jakarta, Selasa (26/8).
Senin kemarin, Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, selaku Ketua MKJ, menyampaikan kepada wartawan soal rekomendasi sidang MKJ tersebut. Selain lima jaksa itu, menurut Wisnu, masih ada beberapa jaksa lain yang sedang menunggu proses sidang MKJ.
Lima jaksa yang direkomendasikan untuk diberhentikan itu adalah JOP di Kejaksaan Negeri Poso, Sulawesi Tengah; SFW di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat; TSH di Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur; SF di Kejaksaan Tinggi Papua; dan STRHS di Kejaksaan Negeri Karawang, Jawa Barat.
Mengenai keberadaan kelima jaksa itu, Nainggolan menyatakan, hanya SF dan TSH yang tak diketahui keberadaannya. Dua jaksa yang dijatuhi sanksi karena desersi atau melarikan diri dari tugas tersebut kabur saat proses penjatuhan hukuman.
”Kami berusaha menyampaikan soal rekomendasi hukuman ini. Namun, kalau mereka tidak ada di tempat, bagaimana?” ujar Nainggolan.
Jaksa berinisial JOP pernah dijatuhi sanksi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil karena tidak melaksanakan tugas. Ia juga pernah ditangkap polisi dalam kasus narkoba dan sudah menjalani hukuman selama satu tahun penjara.
SFW diduga memainkan perkara dengan menjual tanah milik orang lain yang berperkara, kemudian mengambil uang tersebut. TSH melakukan perbuatan tercela memeras saksi pelapor dalam kasus ijazah palsu di Kabupaten Kupang, NTT. STRHS memeras kepala sekolah di Karawang dan SF melarikan diri dari tugas.
Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS termasuk hukuman disiplin berat, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.
Febri Diansyah, peneliti Indonesia Corruption Watch, mengharapkan penjatuhan sanksi tidak melulu dari sisi etik. Dugaan pidana yang dilakukan pada jaksa yang diberhentikan itu juga harus ditindaklanjuti dengan penyidikan. ”Hukuman administrasi yang sudah dijatuhkan tidak boleh mengurangi sanksi pidananya,” kata Febri.
Penegakan hukum harus diprioritaskan pada tindak pidananya. Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam menjatuhkan hukuman dapat memerintahkan anak buahnya di Bagian Tindak Pidana Khusus untuk menyidik dugaan korupsi yang berkaitan dengan para jaksa itu. Jaksa Agung juga dapat memberikan rekomendasi kepada polisi untuk menyidik dugaan pidana umum jaksa.
”Berdasarkan pemeriksaan para jaksa itu, tentu sudah ada bukti awal. Bukti permulaan inilah yang digunakan sebagai dasar penyidikan,” tambah Febri.
Selain lima jaksa itu, masih ada jaksa yang menjalani proses sidang MKJ. Mereka adalah jaksa RB, CD, NH, DHN, BJ, UMD, dan RH. Proses MKJ dilakukan untuk jaksa yang akan diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil. (idr)
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2008