KASUS SUAP: Ada, tetapi Sulit Dibuktikan

MENYIBAK mafia peradilan di Indonesia, ibarat mengurai benang kusut. Meskipun terjadi suap, jarang terungkap ke permukaan. Kecuali, pelaku suap itu tertangkap basah.

Tertangkapnya Tengku Syaifuddin Popon, kuasa hukum Gubernur nonaktif Nanggroe Aceh Darussalam Abdulah Puteh, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 Juni lalu merupakan salah satu contoh adanya praktik dugaan suap terhadap hakim.

Popon ditangkap KPK saat menyerahkan uang Rp250 juta kepada Wakil Ketua Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Syamsu Rizal Ramadhan. Penangkapan dilakukan di ruang kerja Panitera Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.

Sebelum tertangkap, Syaifuddin Popon pernah meminta status penahanan Puteh dialihkan menjadi tahanan kota pada 18 April 2005. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan itu dan menetapkan Puteh sebagai tahanan kota selama 30 hari, terhitung 12 April hingga 11 Mei. Status tahanan kota Puteh kemudian diperpanjang hingga 12 Juli.

Terungkapnya kasus suap di PT DKI bukan rahasia umum. Seorang pengacara terdakwa kasus korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pernah menolak permintaan uang dari petugas panitera. Kepada pengacara tersebut panitera itu mengaku hanya menyampaikan pesan dari hakim yang menangani kasus tersebut. Karena saya menolak, panitera itu kemudian menawarkan bantuan supaya saya main uang di PT DKI. Katanya, dia bisa membantu karena kenal dengan beberapa petugas panitera dan hakim di PT DKI, kata pengacara yang enggan disebutkan namanya kepada Media beberapa waktu lalu.

Bahkan, kata pengacara itu lagi, seorang panitera di PN Jakpus pernah meminta sebuah laptop atau telepon seluler ketika dirinya mengurus perkara banding kliennya. Bagaimana kita enggak kesal, sudah bayar administrasi sesuai peraturan, tetapi masih saja diminta uang tambahan. Alasannya, biar urusannya bisa dipercepat, tambahnya.

Praktik dugaan suap terhadap hakim, meskipun sulit dibuktikan, biasanya terjadi di setiap pengadilan. Untuk melihat indikasi adanya suap tersebut, biasanya proses persidangannya dilakukan ketika sepi pengunjung atau tidak ada wartawan yang meliput.

Proses peradilan kasus korupsi yang patut dicurigai di PN Jakpus adalah kasus persidangan korupsi dugaan penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai 169 miliar, atas nama terdakwa Presiden Komisaris (Preskom) Samadikun Hartono. Pada 2 Agustus 2002, majelis hakim yang pimpin Rusdy As'ad menjatuhkan vonis bebas terhadap Samadikun karena berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi di persidangan, terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak terbukti melanggar hukum sebagaimana dakwaan primer yang dibacakan jaksa. Padahal sebelumnya, jaksa YW Mere menuntut terdakwa Samadikun dengan hukuman satu tahun penjara.

Putusan bebas Samadikun yang tidak diduga sebelumnya itu dan mengundang kecurigaan bahwa adanya dugaan permainan uang terhadap hakim, sampai sekarang sulit dibuktikan.

Kecurigaan dan bau tidak sedap juga terasa pada kasus Syahril Sabirin, yang terlibat dalam kasus penyelewengan dana BLBI senilai Rp904,647 miliar. Namun, PT DKI memutuskan bahwa Syahril tidak terbukti bersalah. Sedangkan sebelumnya, PN Jakpus memvonis Syahril tiga tahun penjara dan denda Rp15 juta atau subsider tiga bulan kurungan. Vonis itu dijatuhkan 13 Maret 2002 oleh majelis hakim yang terdiri atas Soebardi (ketua), Asep Iwan Iryawan (anggota), dan Ali Akmal Haki (anggota). Vonis tersebut lebih ringan setahun dari tuntutan jaksa Yan W Mere.

Kepala Humas PN Jakpus Ridwan Mansyur mengaku kesulitan membuktikan tudingan dugaan suap terhadap hakim yang memutus bebas suatu perkara. Susah membuktikannya, bagaimana Anda tahu hakim itu disuap, katanya.

Seorang hakim, tambah Ridwan, bisa memutus bebas sebuah perkara apabila dakwaan jaksa tidak terbukti secara hukum.

Bahkan, dugaan suap terhadap hakim itu tidak hanya terjadi pada kasus korupsi, tetapi juga kasus pidana hak asasi manusia ad hoc. Beberapa kasus HAM ad hoc yang diputus bebas oleh majelis hakim, antara lain terdakwa Tono Suratman, Yayat Sudrajat, Endar Priyanto, Aep Kuswani dkk, Herman dkk, Pranowo, dan terdakwa Sriyanto.

Di PN Jakarta Selatan, dugaan suap terhadap hakim juga merebak. Salah satunya terhadap majelis hakim yang menangani korupsi pengadaan minyak goreng senilai Rp169 miliar milik Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan terdakwa Nurdin Halid. Ketua Majelis Hakim I Wayan Rena yang memimpin persidangan mengatakan pengadilan membebaskan Nurdin dari semua dakwaan jaksa karena dakwaan primer dan subsider yang diajukan jaksa tidak dapat dibuktikan. Jaksa Arnold Angkouw menuntut Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) itu vonis 20 tahun dan denda Rp30 juta subsider kurungan enam bulan.(Sur/Hil/P-3).

Media Indonesia, 17 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan