Kasus Chandra dan Bibit Samad, KPK Setor Dokumen Sendiri ke Mabes Polri
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyetorkan sendiri sejumlah dokumen kasus yang menjerat pimpinannya sebagai tersangka kepada Polri. Ini terkait kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dengan tersangka Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. "Sebagian dokumen dibawa ke Mabes Polri bersamaan dengan pemeriksaan Pak Chandra," kata Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. kemarin.
Wakil Ketua KPK nonaktif Chandra dan Bibit telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang. Menurut Johan, Biro Hukum KPK telah berkoordinasi dengan Polri tentang penyerahan dokumen yang merupakan tindak lanjut penyitaan dokumen yang dilakukan penyidik Polri di kantor KPK itu. Namun, Johan tidak menjelaskan jenis dokumen yang dibawa ke Mabes Polri karena menjadi urusan Biro Hukum KPK.
Kepala Biro Hukum KPK Khaidir Ramly membenarkan telah membawa sejumlah dokumen ke Mabes Polri. "Ya, benar," katanya. Seperti halnya Johan, Khaidir tidak bersedia merinci jenis dokumen tersebut.
Sebelumnya Polri menyita barang-barang bukti di gedung KPK yang menurut tim pengacara Chandra dan Bibit berupa alat rekam dan buku tamu. Awalnya, Polri akan menyita 36 dokumen. Namun, Polri hanya berhasil menyita alat rekam dan buku tamu. Ada 29 barang yang diteliti Polri, termasuk alat rekam dan buku tamu, selain beberapa dokumen seperti berbagai surat perintah dan berkas perkara.
Kemarin Chandra kembali menjalani pemeriksaan. Penyidik Bareskrim Mabes Polri masih bertanya seputar dugaan penyalahgunaan wewenang. "Belum ada pertanyaan atau pemeriksaan yang mengarah ke tindak pidana suap atau pemerasan," kata pengacara Chandra, Taufik Basari, di Mabes Polri.
Menurut Taufik, polisi tidak memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap proses penyidikan dan pemeriksaan di KPK. Polisi juga telah mencampuradukkan masalah pidana dengan persoalan administrasi negara.
Taufik mengatakan, pertanyaan tertutup kepada kliennya kali ini diarahkan seakan-akan untuk mencari kesalahan. Polisi semestinya mengajukan pertanyaan terkait kasus pemerasan. "Dari pertanyaan tertutup penyidik jawabannya bisa diartikan luas. Pertanyaan diarahkan agar menjawab iya atau tidak. Jadi, benar-benar pertanyaan yang menyudutkan. Saya pikir ini juga tidak terlalu sesuai dengan pertanyaan pidana yang kami harapkan," ujarnya.
Dia menjelaskan, sejak awal pertanyaan pidana pemerasan yang diajukan kepada kliennya masih sangat minim. Pertanyaan terkait suap dan pemerasan hanya disisipkan dalam rangkaian pemeriksaan. "Kalau dipersentase, pertanyaan menyangkut penyalahgunaan wewenang 95 persen. cCuma lima persen pertanyaan suap. Itu pun tidak ada elaborasi," katanya. (rdl/iro)
Sumber: Jawa Pos, 22 Oktober 2009