Kasus Bank Century; Pernyataan Pemerintah Prematur
Pernyataan pemerintah melalui kejaksaan bahwa kasus Bank Century tidak melanggar hukum dinilai sangat prematur dan melukai rasa keadilan masyarakat.
Penilaian itu disampaikan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, Minggu (25/10).
”Bagaimana mungkin bisa dikatakan tidak melanggar hukum, sementara BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) belum menyelesaikan tugasnya, terutama ke mana selisih dana haram yang dikucurkan itu mengalir,” katanya.
Seperti diketahui, DPR hanya menyetujui suntikan dana pada Bank Century sebesar Rp 1,3 triliun. Faktanya, yang dikucurkan adalah Rp 6,7 triliun.
Bambang juga mengimbau anggota BPK yang baru agar tidak gentar mengungkap kasus aliran dana Bank Century. Rakyat akan menilai apakah anggota BPK baru akan bekerja dengan jujur dan punya nyali dalam mengungkap fakta atau justru sebaliknya. ”Kasus Bank Century yang kini telah berganti nama jadi Bank Mutiara merupakan batu ujian bagi BPK baru,” ujarnya.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) juga telah membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus Bank Century yang menyedot uang negara sebesar Rp 6,7 triliun.
”Kami ingin menyelidiki kasus ini karena jelas menyinggung rasa keadilan masyarakat,” ungkap Ketua F-PDIP Tjahjo Kumolo.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy menyatakan, dari hasil penyelidikan jaksa, pengucuran dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century tidak melawan hukum. Menurut Marwan, Jumat lalu, pengucuran dana tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2008. Selain itu, hanya Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, yang bertindak sebagai regulator, yang bisa menafsirkan dampak masalah Bank Century terhadap bank-bank lain di Indonesia.
Dalam kasus Bank Century, Kejaksaan Agung tengah menangani upaya pengembalian dana nasabah sebesar Rp 11,64 triliun yang dibawa ke luar negeri oleh pemilik saham mayoritas Bank Century, yakni Hesyam Al Warraq, Rafat Ali Rizvi, dan Robert Tantular. (idr/sut)
Sumber: Kompas, 26 Oktober 2009