Karena Biaya yang Dikeluarkan Kandidat Besar; Pascapilkada Langsung Buka Peluang Korupsi

Besarnya biaya politik (political financing) yang harus dikeluarkan kandidat kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, membuka peluang besar praktik korupsi pada saat yang bersangkutan benar-benar terpilih sebagai kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota).

Hal itu dipaparkan Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dr. Syamsa Ardisasmita, pada Sosialisasi Pemberantasan Korupsi dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara Provinsi Jabar di Ruang Rapat Paripurna DPRD Jabar, Selasa (5/7). Hadir pada kegiatan tersebut, Ketua DPRD Jabar H.A.M. Ruslan, Sekretaris Daerah (Sekda) Jabar Setia Hidayat, beberapa bupati/wali kota di Jabar, serta para pejabat lainnya.

Menurut Syamsa, untuk mencegah praktik korupsi tersebut, DPRD sebagai lembaga yang memiliki wewenang formal mengawasi jalannya kinerja pemerintahan, harus terus diberdayakan. Citra legislatif harus terus dibangun sebagai lembaga yang terhormat dan bermartabat serta meningkatkan sikap, perilaku, dan posisi yang jelas untuk antikorupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Syamsa mengungkapkan, pada 2005 ini di Indonesia digelar 11 pemilihan gubernur, 36 wali kota, dan 179 bupati, termasuk di dalamnya 5 pemilihan bupati/wali kota di Jabar. Beberapa potensi korupsi dalam proses pilkada adalah pengadaan barang dengan penunjukan langsung dengan alasan darurat dan kepala daerah yang masih menjabat berpotensi menggunakan anggaran daerah untuk kampanye.

Selain itu, adanya cukong-cukong yang berani memberi sumbangan dana kampanye sangat besar (menurut pasal 85 UU Pemberantasan Korupsi, itu dilarang-red.), ungkapnya.

Potensi lainnya adalah suap terhadap petugas KPUD, Panwas, PPK, PPS, dan KPPS untuk menggelembungkan suara. Return of investment dari biaya politik (money politics) oleh pasangan calon.

Bagaimana kepala daerah berpikir untuk kesejahteraan rakyat, kalau harus berpikir return of investment, kata Syamsa.

Melonjak
Disebutkan Syamsa, KPK menengarai besarnya potensi korupsi pascapilkada, karena biaya politik pilkada langsung melonjak tinggi dibandingkan era sebelumnya, ketika pemilihan dilakukan oleh anggota DPRD. Dengan asumsi jumlah anggota DPRD di kabupaten/kota 45 orang, maka untuk menang seorang kandidat harus menuai suara minimal 51 persen.

Ketua Fraksi PDIP DPRD Jabar Rahadi Zakaria yang hadir pada kegiatan itu, tak memungkiri sinyalemen yang disampaikan KPK. Secara logis, proses demokratis dengan melibatkan massa dalam jumlah banyak, tentu memakan biaya lebih besar dibandingkan menyerahkannya pada mekanisme demokrasi perwakilan.(A-64)

Sumber: Pikiran Rakyat, 6 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan