Jika Buaya Pilek...
Seharusnya KPK tak perlu ada. Kita tahu kehadiran lembaga ini menimbulkan suasana persaingan tak sehat di antara lembaga-lembaga penegak hukum.
Publik mengagung-agungkan KPK, yang dianggap lebih berani, lebih transparan, lebih tegas. Perlakuan publik menunjukkan KPK sebagai pahlawan, sedangkan Kejaksaan Agung dan jajarannya dipandang sebelah mata.
Ini tentu tak mengenakkan bagi lembaga penuntut umum itu. Jasanya, pada saat sukses sekalipun, juga tak diakui. Inilah ”suasana hati” para petinggi di Kejaksaan Agung saat Jaksa Agung dijabat Abdurrahman Saleh. Saya pernah menemuinya, di kantornya, bersama beberapa teman, staf dari Partnership. Jaksa Agung menerima kami, didampingi para jaksa agung muda. Pak Hendarman Supandji, Jaksa Agung sekarang, saat itu juga hadir. Itulah keluhan mereka, yang merasa tak dianggap—terutama oleh media—dan saya turut merasakan betapa tak enak mendapat perlakuan publik seperti itu, pada saat yang lain dipuja-puja.
Kami datang bukan untuk mendiskusikan ”perasaan” seperti itu. Agenda kami membahas langkah lebih lanjut menemukan cara-cara, strategi, atau pendekatan untuk mewujudkan gagasan mereformasi Kejaksaan Agung yang belum pernah beranjak meninggalkan dokumen resmi. Maksudnya, hingga hari ini, gagasan reformasi itu masih tetap suci sebagai gagasan yang belum tersentuh apa pun.
Hasil pilihan sikap populis
Ketika KPK angkatan pertama dibentuk, Bang Dillon—Direktur Eksekutif Partnership saat itu—ikut sibuk menangani banyak masalah dasar tentang akan seperti apa KPK kelak, dengan agenda macam apa, dan bagaimana menjaring koruptor yang memiskinkan rakyat. Jangan lupa, KPK ini lembaga yang lahir dari Presiden Megawati Soekarnoputri, yang dengan tangan terbuka menerima aspirasi publik untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai program ”unggulan”. Kita tahu, kehadiran KPK juga memberi Presiden SBY kredit amat besar, bila bukan hampir tak terbatas.
KPK pimpinan Taufiequrachman Ruki itu berakhir saat saya menggantikan Dillon sebagai Direktur Eksekutif Partnership. Seperti sebelumnya, untuk memilih komisioner KPK yang baru, Presiden SBY mengeluarkan keppres, isinya menugaskan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi menjadi ketua panitia seleksi. Bersama sejumlah tenaga staf, saya mewakili Partnership mendukung langkah ini dari nol.
Kami memilih tokoh-tokoh yang tak diragukan kredibilitasnya untuk menjadi anggota panitia seleksi agar kelak menghasilkan komisioner profesional, memiliki kompetensi teknis yang tinggi di bidang masing-masing, berpengetahuan luas, berpengalaman menangani korupsi, terpercaya, teruji kejujurannya, dan semua itu harus didukung data lengkap, dibuktikan lebih lanjut dalam rekam jejak riil sepanjang karier mereka.
Tanpa mereka ketahui, kami menyelidiki diam-diam untuk mengetahui siapa sebenarnya mereka. Kami mencari dukungan dari banyak pihak—terutama dari LSM—untuk memperoleh informasi otentik tentang mereka. Data yang diperoleh diuji lebih lanjut dengan wawancara mendalam, sistematis, dengan materi pertanyaan melebihi usaha menjaring calon menteri.
Untuk memilih lima komisioner itu, panitia menyerahkan dua pasang susunan komisioner sebanyak 10 orang kepada Presiden yang lalu meneruskan ke DPR. Dipilihnya Antasari Azhar sebagai ketua oleh DPR saat itu menjadi problem menjengkelkan. Orang bertanya, dengan marah, apa kepentingan politik DPR.
Model pengadilan tipikor
Sekali lagi, KPK seharusnya tak perlu ada. Ini adalah lembaga sementara, hadir dalam situasi darurat, tak dimaksudkan untuk permanen. Kita memiliki banyak komisi negara yang sifatnya sementara. Namun, KPK yang sementara bisa amat lama karena lembaga penegak hukum lain, yang sebagian peran dan fungsinya diambil, belum juga sembuh.
Komisi Kejaksaan—bertanggung jawab kepada presiden— memanggul mandat mereformasi internal kejaksaan, tetapi hasilnya belum memadai. Ibaratnya, kejaksaan belum tersentuh program reformasi. Kita memiliki Komisi Kepolisian Nasional, juga bertanggung jawab langsung kepada presiden, yang agak lebih baik dan punya hasil yang patut dihargai. Di Mahkamah Agung malah ada cetak biru reformasi, tetapi masih ”agak” macet. Mereka sibuk dengan urusan memperpanjang masa pensiun, ”menyerang” Komisi Yudisial agar, jika bisa, komisi ini mandul.
Otomatis ini semua ”memberi” hak lebih besar dan legitimasi lebih kuat terhadap kehadiran KPK. Tentu saja KPK tak mungkin lepas dari kekurangan. Namun, lembaga yang dibentuk dengan harapan menutup kekurangan lembaga lain, KPK menunjukkan hasil. Kehadirannya mengisyaratkan kita masih berhak berharap. Ada tanda-tanda, suatu saat, pelan-pelan, koruptor kita ganyang. Semua kita kubur di dalam lembaga-lembaga yang mau belajar menjadi bersih.
Tanda kita masih punya alasan berharap itu tampak pada cara kerja KPK dan kelengkapan lembaganya, pengadilan tindak pidana korupsi, yang belum pernah membiarkan koruptor lepas begitu saja. Para hakim merupakan warga negara yang memiliki kepedulian tulus. Mereka tak terperangah melihat duit. Orang- orang ini bekerja dengan kreatif, mengandalkan sikap profesional, jujur, dan memiliki seni ”menjerat” koruptor yang diadili, dengan pertanyaan yang tak dimiliki pengadilan lain.
Kemitraan memiliki catatan kinerja mereka, yang kemudian diteliti lagi oleh peneliti LIPI, yang memperteguh agar pengadilan tipikor menjadi model bagi pengadilan-pengadilan lain. Di sini jelas, KPK memberi kita alternatif mengembangkan model pengadilan bersih dari mentalitas dan sikap korup.
Jika buaya pilek...
Negeri ini bukan milik pejabat, bukan pula milik pemerintah. Polisi milik kita, seluruh rakyat Indonesia. Kejaksaan milik kita. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan semua komisi negara milik kita. KPK mungkin betul hanya cicak. Dan jika diterkam buaya, pasti tak berdaya.
Namun, cicak ini memberi presiden ”kredit” besar. Di dunia luar, gerak kita melawan korupsi dicatat sebagai bagian ”kemuliaan” Presiden SBY dan kabinet SBY. Kemitraan yang ikut gigih membentuk KPK. Jika kemitraan boleh mengklaim ikut memiliki KPK, otomatis, KPK juga milik SBY.
Buaya menerkam cicak, apa bukan berarti buaya menerkam SBY? Tahukah implikasinya bagi karier dan jabatan bila melawan rakyat, sekaligus melawan presiden sendiri? Maka, patut dicatat, cicak dan buaya diciptakan Tuhan bukan untuk saling berhadapan sebagai musuh. Mereka saudara serumpun, yang bisa saling membantu. Bahkan, kalau buaya pilek, cicak pun bisa menggantikannya.
MOHAMAD SOBARY Esais
Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 November 2009