Jangan Bajak RUU Pengadilan Tipikor
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk menghentikan pembajakan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Sejumlah aktivis mensinyalir pembajakan ini justru dilakukan pemerintah dengan membuat draf RUU Pengadilan Tipikor yang mengandung banyak kekurangan, khususnya pasal yang melemahkan posisi hakim ad hoc tipikor.
Hal ini disampaikan aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Kamis (2/7). Para aktivis meminta Presiden Yudhoyono dan utusan pemerintah dalam pembahasan di DPR tak membajak materi RUU Pengadilan Tipikor, khususnya komposisi hakim ad hoc dan hakim karier.
”Jika pernyataan Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di luar koordinasi, Presiden harus memberi teguran keras,” kata Febri Diansyah dari Indonesia Coruption Watch (ICW) yang tergabung koalisi.
Para aktivis juga mengecam segala upaya dan pernyataan anggota DPR, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, serta semua pihak yang ingin mematikan pemberantasan korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor.
”Saat daftar inventarisasi masalah (DIM) di DPR justru tidak lagi mempersoalkan komposisi hakim ad hoc dan hakim karier 3:2, tim pemerintah justru mempertahankan Pasal 27 RUU Pengadilan Tipikor yang mengatakan, komposisi hakim diserahkan pada ketua pengadilan negeri. Karena pasal itu sama saja berarti memberikan diskresi lebih luas kepada ketua pengadilan. Dengan kata lain, dikhawatirkan ada upaya sistematis untuk mengembalikan peran yang lebih besar pada hakim pengadilan umum untuk menyidangkan kasus korupsi,” jelas Febri.
Secara terpisah, Dewan Integritas Bangsa (DIB) dalam diskusi di Jakarta menyerukan agar mewaspadai serangan balik dari koruptor. Hadir dalam diskusi itu Koordinator Tim 8 DIB Lieus Sungkharisma dan Ketua Tim 45 Erry Riyana Hardjapamekas.
DIB mendukung KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi dan tak membiarkan proses pembubaran KPK berlangsung sebab sama dengan membunuh demokrasi. (VIN)
Sumber: Kompas, 3 Juli 2009
{mospagebreak title=Disinyalir Ada Upaya Penggembosan RUU Pengadilan Tipikor}
Disinyalir Ada Upaya Penggembosan RUU Pengadilan Tipikor
by : M. Yamin Panca Setia
Presiden SBY diminta tegur Menkum dan Ham juga Jaksa Agung.
KOALISI Pemantau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mensinyalir adanya upaya pengembosan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor, baik dilakukan oleh DPR maupun para pembantu Presiden, yakni Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta dan Jaksa Agung, Hendarman Supandji.
Kedua pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dinilai berupaya memperlemah materi RUU tersebut dengan mengusulkan draf RUU yang telah diusulkan sebelumnya. Keduanya mengusulkan agar komposisi hakim Pengadilan Tipikor, bisa lebih banyak hakim karier daripada hakim ad hoc, atau diserahkan pada diskresi ketua pengadilan.
"Itu (usulan Menkum HAM dan Jaksa Agung) sama saja melemahkan Pengadilan Tipikor. Kami mengecam Jaksa Agung dan Menkum HAM karena melemahkan hakim ad hoc. Tawaran kami konkret yaitu terapkan apa yang sudah berjalan, hakim ad hoc tiga, hakim karier dua," kata Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah.
Sementara itu, peneliti Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Wahyudi Djaffar menilai, upaya pengembosan juga dilakukan sejumlah fraksi di DPR. Dia menyesalkan ada fraksi yang justru mengusulkan penundaan pengesahan RUU tersebut dan mengabaikan deadline (batas waktu) pengesahan RUU Pengadilan Tipikor yang telah ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni 19 Desember mendatang. Alasannya, RUU Pengadilan Tipikor harus sinkron dengan RUU Peradilan Umum yang juga sedang dibahas DPR.
Koalisi menilai, Presiden SBY harus turun tangan menghentikan upaya pengembosan yang dilakukan pembantunya tersebut. Febri mempertanyakan apakah pengembosan tersebut diketahui Presiden atau tidak. Presiden juga harus memberikan teguran keras terhadap dua utusan itu dan menyatakan pemerintah setuju mendukung hakim ad hoc lebih banyak. "Ini tantangan buat Presiden SBY dan itu sangat berpengaruh terhadap posisinya yang juga sebagai calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009," katanya.
Koalisi juga mempertanyakan komitmen capres Jusuf Kalla dan Megawati yang telah menjanjikan percepatan pengesahan RUU tersebut. Koalisi mempertanyakan pernyataan Kalla yang memerintahkan agar Fraksi Golkar serius membahas masalah tersebut. "Namun, Ketua Pansus RUU Pengadilan Tipikor, Dewi Asmara dari Fraksi Golkar justru tidak serius dan mengakomodasi pembicaraan yang melemahkan Pengadilan Tipikor. Apakah tidak ada koordinasi dengan Kalla, atau pernyataan JK hanya janji politik semata. Seharusnya pernyataan JK dipatuhi fraksinya," kata Febri
Sementara kepada Megawati, koalisi mempertanyakan sikap anggota DPR dari Fraksi PDIP yang tidak konsisten merealisasi janjinya untuk pengesahan RUU tersebut. Wahyudi mencontohkan tidak konsistennya anggota DPR dari Fraksi PDIP Gayus Lumbuun dalam memperjuangkan RUU tersebut. "Mereka katanya akan menyelesaikan pengadilan tipikor. Apa benar?" kata Wahyudi.
Sinkronisasi
Secara terpisah, Dewi Asmara menegaskan, pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tak sekadar mengejar batas waktu sesuai amanat MK semata. Namun, harus disinkronkan dengan sejumlah RUU lainnya seperti RUU Tindak Pidana Pencucian Uang, RUU Komisi Yudisial dan RUU Peradilan Umum. Sinkronisasi perlu dilakukan karena Pengadilan Tipikor nanti harus masuk ke sistem peradilan umum.
Dewi menjelaskan, pembahasan RUU tersebut telah masuk ke tingkat panitia kerja (Panja) DPR yang telah dicapai sejumlah kesepakatan prinsip terkait landasan filosofi RUU tersebut dengan pemerintah. "Sekarang RUU ini sudah menjadi domain bersama pemerintah dan DPR. Karenanya pembahasan tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri," katanya.
Sumber: Jurnal Nasional, 3 Juli 2009