Jaksa Ulur Penetapan Buron Joko Tjandra

"Tidak adil bagi Syahril Sabirin."

Kejaksaan Agung menolak menunda eksekusi Joko Soegiarto Tjandra, terpidana kasus cessie Bank Bali. Namun, jaksa belum menyatakan Joko sebagai buron. Jaksa masih memberikan kesempatan bagi Joko untuk menyerahkan diri secara sukarela hingga Jumat pekan ini.

"Itu kesempatan terakhir," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Jasman Pandjaitan, di kantornya kemarin.

Menurut Jasman, permohonan penundaan eksekusi selama sebulan oleh Joko tidak bisa diterima. "Itu bertentangan dengan hukum dan tidak adil bagi Syahril Sabirin," kata Jasman.

Pada 11 Juni, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan jaksa. Mahkamah memvonis Joko bersalah dan menghukumnya dua tahun penjara. Tiga hari sebelumnya, Mahkamah juga memvonis Syahril, terpidana pada kasus yang sama, dua tahun penjara.

Jaksa telah menjebloskan Syahril ke penjara Cipinang, Selasa pekan lalu, saat mantan Gubernur Bank Indonesia itu datang menyerahkan diri.

Berbeda dengan Syahril, Joko pergi ke Papua sehari sebelum hakim agung mengetuk palu. Joko terbang ke Port Moresby, Papua Nugini, dengan pesawat jet carteran melalui Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.

Dari Papua Nugini, Joko lalu meminta penangguhan eksekusi. Melalui kuasa hukumnya, O.C. Kaligis, raja bisnis properti dan gedung perkantoran itu beralasan hendak menyelesaikan dulu urusan bisnisnya.

Sempat tersiar kabar bahwa Joko akan menyerahkan diri Senin lalu, setelah Kaligis berjanji mengusahakan kepulangan kliennya itu. Namun, hingga kemarin, Joko tak menampakkan batang hidungnya. Berkali-kali diperdaya, untuk ketiga kalinya Kejaksaan melayangkan panggilan kepada Joko.

Skandal cessie ini bermula pada 1997, saat Bank Bali kesulitan menagih piutang sekitar Rp 3 triliun di Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara. Bank Bali gagal menagih piutangnya hingga ketiga bank itu masuk “bengkel” Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Bank Bali lantas menyewa jasa PT Era Giat Prima, tempat Joko menjadi direktur dan Setya Novanto--saat itu bendahara Golkar--sebagai direktur utamanya. Era Giat dijanjikan mendapat separuh dari duit yang bisa ditagih.

Pada 1999, Bank Indonesia dan BPPN mencairkan piutang Bank Bali sebesar Rp 905 miliar. Namun, Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, Rp 546 miliar, masuk rekening Era Giat.

Kejaksaan Agung, yang mencium aroma korupsi, mengintervensi kasus ini. Sejumlah nama, termasuk Joko dan Syahril, jadi tersangka. Kejaksaan juga menyita duit Rp 546 miliar itu dan menitipkannya ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali--saat ini jadi Bank Permata.

Setelah ada vonis Mahkamah Agung, Kejaksaan meminta Bank Permata menyerahkan uang berstatus barang bukti itu kepada negara. "Nasibnya sudah diputuskan Mahkamah Agung. Tak ada alasan untuk menundanya," kata Jasman. Namun, Bank Permata masih menahan uang tersebut. ANTON SEPTIAN

Sumber: Koran Tempo, 24 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan