Jaksa Ragukan Hak Gugat SKPP Bibit dan Chandra
Sidang perdana gugatan praperadilan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) kasus Bibit S. Riyanto dan Chandra M. Hamzah berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin (14/12). Dalam tanggapan atas gugatan itu, jaksa mempertanyakan posisi pemohon karena dinilai tidak memiliki hak gugat (legal standing).
Jaksa Wisnu Baroto mengatakan, pemohon praperadilan yang terdiri atas tiga LSM, yakni Hajar, Lepas, dan PPMI, tidak termasuk sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sesuai dengan pasal 80 KUHAP. ''Tidak setiap organisasi masyarakat atau LSM mempunyai hak gugat,'' kata Wisnu.
Dia menjelaskan, legal standing LSM diatur dalam pasal 37 ayat (1) UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Intinya, masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai berbagai masalah lingkungan hidup.
Selain itu, menurut jaksa, dalam pasal 80 KUHAP, pihak ketiga yang berkepentingan umumnya adalah saksi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan. ''Pemohon praperadilan (Hajar, Lepas, dan PPMI) bukan sebagai saksi yang langsung menjadi korban dalam peristiwa yang diajukan dalam praperadilan ini,'' urai Wisnu.
Sebelumnya, dalam gugatan, tiga LSM menilai SKPP yang diterbitkan Kejaksaan Negeri Jaksel bisa menimbulkan dampak luas di masyarakat. ''Ini akan menjadi preseden buruk penegakan hukum,'' tegas Eggi Sudjana, kuasa hukum tiga LSM itu.
Selain tiga LSM tersebut, kemarin jaksa menghadapi sidang gugatan yang sama dengan pemohon praperadilan Komunitas Advokat dan Masyarakat Penegak Hukum. O.C. Kaligis yang mewakili komunitas tersebut mengatakan, penghentian kasus Bibit dan Chandra dilakukan karena ada tekanan dari masyarakat dan Tim Delapan. ''Itu pendapat yang tidak diatur dalam hukum acara pidana Indonesia,'' katanya.
Namun, dalam tanggapannya, jaksa Wisnu membantah adanya tekanan tersebut. Menurut jaksa pada bidang pidana khusus Kejagung itu, SKPP terbit setelah ada kajian dan penelitian dari jaksa penuntut umum. ''Bukan atas imbauan presiden atau rekomendasi Tim Delapan,'' tegas Wisnu.
Terkait gugatan praperadilan tersebut, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengajukan permohonan intervensi. MAKI beralasan, penghentian kasus Bibit-Chandra sudah memenuhi syarat yuridis sehingga harus dinyatakan sah dan berlaku secara hukum.
Terkait alasan yuridis, MAKI menilai bisa dikesampingkan. ''Mestinya dijadikan dasar deponering (penghentian perkara demi kepentingan umum),'' kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
Seperti diketahui, SKPP Bibit dan Chandra diterbitkan 1 Desember lalu. Sebelumnya, keduanya disangka atas dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Kasus lantas dihentikan dengan alasan yuridis. Meski memenuhi rumusan delik pasal yang disangkakan, itu dianggap wajar karena terkait tugas dan kewenangannya.
Selain itu, alasan sosiologis, di antaranya adalah suasana kebatinan perkara Chandra dan Bibit tidak layak maju ke pengadilan karena dinilai lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. (fal/iro)
Sumber: Jawa Pos, 15 Desember 2009