Jaksa Agung; Jalan Tengah, Setengah Karier

Tarik-menarik tentang pengganti Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung sempat memanas, September lalu. Sebanyak 8.479 anggota Persatuan Jaksa Indonesia menyampaikan aspirasi agar Jaksa Agung yang baru berasal dari jaksa karier (Kompas, 18/9). Sebaliknya, sejumlah aktivis antikorupsi berharap Jaksa Agung baru berasal dari kalangan nonkarier.

Sebagai Jaksa Agung dari kalangan jaksa karier, Hendarman oleh aktivis antikorupsi dinilai gagal dalam mereformasi kejaksaan dan memimpin gerakan pemberantasan korupsi. Hendarman juga harus bertanggung jawab dalam sejumlah perkara penyimpangan yang dilakukan sejumlah jaksa.

Peluang kalangan nonkarier menjadi Jaksa Agung terbuka sebab Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 September lalu hanya menunjuk Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung. Sejumlah nama disebut, baik dari kalangan karier maupun nonkarier, untuk memimpin korps Adhyaksa. Tarik-menarik kepentingan pun kian kencang, termasuk ”tekanan” dari jaksa itu.

Presiden, ungkap Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, jelas mengetahui tantangan yang dihadapi sekarang dan masa mendatang di lingkungan kejaksaan. ”Jadi, apakah nonkarier atau karier, tentu Presiden yang akan melihat dan mempertimbangkan dengan saksama,” katanya (Kompas, 14/9).

Namun, ternyata, sampai ada pergantian Kepala Polri, pada 23 Oktober lalu, belum juga ada kepastian siapa yang menjadi Jaksa Agung. Padahal, sebelumnya dikabarkan pelantikan Kepala Polri akan bersamaan dengan Jaksa Agung. Apakah Presiden kesulitan memilih calon dari kalangan karier atau nonkarier?

Pastilah Presiden tidak kebingungan. Ada banyak stok calon Jaksa Agung di negeri ini. Namun, nama Basrief Arief baru diyakini akan menjadi Jaksa Agung setelah dia dipanggil Presiden pada Rabu (24/11) malam. Namanya diumumkan Presiden sehari kemudian dan dilantik pada Jumat kemarin.

Jalan tengah

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Harry Ponto, menilai, dipilihnya Basrief Arief sebagai Jaksa Agung merupakan jalan tengah. Sebagai mantan jaksa, yang pensiun tahun 2007, Basrief tak bisa diklaim dari jalur jaksa karier. Apalagi, ia sempat menjadi penasihat hukum setelah tak lagi menjadi jaksa.

Namun, Basrief juga tak bisa disebut dari jalur nonkarier. Posisi ”setengah-setengah” itu bisa menjadi kelebihannya karena ia bisa diterima oleh kalangan jaksa dan masyarakat. ”Ia juga dapat menjadi faktor pemersatu di kejaksaan,” kata Harry lagi. Ia menduga, dalam pengusulan calon Jaksa Agung juga ada ”persaingan” di antara para jaksa.

Basrief juga diharapkan bisa langsung ”tancap gas” setelah dilantik sebagai Jaksa Agung. Ia, sebagai mantan jaksa, tak perlu orientasi tugas lagi. Jika Jaksa Agung berasal dari kalangan nonkarier, dikhawatirkan tidak cukup waktu tiga bulan hanya untuk orientasi tugas. Padahal, masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu II tinggal kurang dari empat tahun lagi. Di sisi lain, masih banyak pekerjaan kejaksaan yang belum tuntas, mulai dari reformasi kejaksaan hingga pemberantasan korupsi yang bukan kian ringan.

Menurut Harry, penunjukan pensiunan jaksa menjadi Jaksa Agung juga bukan kali pertama di negeri ini. Basrief adalah yang kedua. Sebelumnya, Baharuddin Lopa menjadi Jaksa Agung pada 2001 setelah sejak 1986 ”keluar” dari lingkungan kejaksaan. Lopa menjadi Jaksa Agung setelah ia menjabat Menteri Kehakiman.

Dengan ada contoh itu, Harry mengakui ada beban tak ringan di pundak Basrief. ”Rakyat akan membandingkan dia dengan Baharuddin Lopa, yang adalah sosok bersih dan kuat. Publik akan menanti langkah Basrief membersihkan kejaksaan, seperti Lopa yang dapat mengangkat citra kejaksaan,” kata advokat itu. Ini bukan pekerjaan ringan.

Harus independen
Secara terpisah, anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, di Jakarta, Jumat, mengingatkan pula, Basrief diharapkan mampu menciptakan institusi kejaksaan yang independen dan tidak menoleransi intervensi dari pemerintah, politisi, dan pengusaha. Basrief juga diminta memprioritaskan kasus korupsi yang menjadi perhatian publik.

”Jaksa Agung harus sanggup untuk tidak menoleransi intervensi, baik dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun dari dunia usaha,” ujar Mas Achmad. Tantangan bagi Basrief sangat berat sebab kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan kejaksaan memberantas korupsi kini cenderung menurun.

Mas Achmad mengusulkan dua langkah yang perlu dilakukan Basrief untuk memulihkan citra kejaksaan. Pertama, memperkuat pengawasan internal dan memberdayakan Komisi Kejaksaan untuk menindak jaksa nakal. Kedua, fokus dan konsentrasi pada penanganan perkara yang menjadi sorotan publik, terutama kasus korupsi.

Ia mengatakan pula, dalam menangani perkara korupsi, kinerja kejaksaan jangan sampai dianggap lebih rendah dari kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena itu, kejaksaan harus mampu memenuhi aspirasi masyarakat dan tidak pandang bulu dalam menindak pelaku korupsi.

Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, menambahkan, prioritas utama Basrief adalah menuntaskan tumpukan kasus yang selama ini mengendap di kejaksaan, terutama kasus besar, seperti pemberian dana talangan ke Bank Century, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dan dugaan mafia hukum yang melibatkan mantan pegawai pajak Gayus HP Tambunan. ”Jaksa Agung baru harus mampu membersihkan institusinya dari pemerasan,” katanya.

Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan, kepada Jaksa Agung baru, hal pertama yang dia laporkan adalah perkembangan perkara penting yang kini tengah ditangani kejaksaan.
Oleh M Fajar Marta dan Tri Agung Kristanto
Sumber: Kompas, 27 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan