Istri Hakim ke Luar Negeri
MA Memastikan Tidak Pakai Dana APBN
Sekitar 90 istri hakim, dari hakim tingkat pertama hingga hakim agung, berencana akan pergi umrah secara rombongan dan kemudian dilanjutkan berkeliling Eropa. Perjalanan tersebut sedianya akan dilakukan pada 24 April hingga 13 Mei mendatang.
”Itu bukan rombongan hakim. Itu istri-istri hakim. Baru rencana. Mungkin itu program ibadah dari Darmayukti (organisasi kewanitaan Mahkamah Agung/MA, Darmayukti Karini),” ujar Juru Bicara MA Hatta Ali saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (19/4).
Menurut Hatta Ali, kegiatan terlaksana murni atas dana pribadi atau dana yang dibayar oleh suami masing-masing. Ia memastikan tidak ada uang MA atau uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai kegiatan tersebut. ”Saya saja tugas ke luar daerah, kalau bawa istri, istri itu bayar sendiri. Bukan dari anggaran negara,” ujar Hatta Ali.
Hatta Ali pun menyatakan bahwa rombongan yang akan berangkat tidak sebanyak yang disebutkan itu. ”Tidak ada 90 orang (jumlahnya),” ujarnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, beberapa istri ketua pengadilan negeri turut serta dalam rombongan tersebut. Biaya setiap peserta untuk turut serta melakukan ibadah umrah dan diteruskan berkeliling Eropa tersebut berkisar Rp 90 juta per orang.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Illian Deta Artasari, mengkritik kegiatan itu. Ia mempertanyakan asal-usul dana yang digunakan Darmayukti Karini. ”Harus ditelusuri apakah itu berasal dari APBN atau dana sendiri,” ujarnya.
Andaipun dana itu dana pribadi, Illian mengkritik gaya hidup para istri hakim yang dia nilai terlampau mewah. Apalagi untuk istri hakim tingkat pertama yang jikalau dihitung dari pendapatan per bulan tidak mungkin mencapai Rp 20 juta (gaji plus remunerasi).
”Gaya hidup seperti ini yang mendorong perilaku koruptif. Apalagi masak iya, pergi ke luar negeri hanya pergi saja, tidak belanja. Bisa-bisa pengeluaran membengkak lebih dari Rp 100 juta,” kata Illian.
Ia mengimbau para hakim agar menerapkan pola hidup sederhana. Memang, penegak hukum sedang disorot publik dengan terkuaknya praktik suap. Contohnya, hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Ibrahim, yang menerima suap Rp 300 juta dan hakim kasus Gayus Tambunan, Muhtadi Asnun, yang menerima uang sebesar Rp 50 juta. (ANA)
Sumber: Kompas, 20 April 2010