Investigasi untuk Kejaksaan; Kejaksaan Agung: ICW Hanya Melihat Angka

Indonesia Corruption Watch menuntut ada investigasi mendalam terhadap pengelolaan keuangan di Kejaksaan Agung. Apalagi, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, yang menemukan dugaan kejanggalan jumlah uang pengganti kasus korupsi yang disetorkan ke negara.

Hal itu dikatakan Koordinator Divisi Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas di Jakarta, Senin (19/10). ”Penelitian oleh BPK terhadap lima kejaksaan di lima wilayah menemukan uang pengganti yang seharusnya disetor ke negara sebesar Rp 11,27 triliun. Sementara Kejagung dalam laporannya ke BPK hanya melaporkan Rp 8,15 triliun untuk seluruh Indonesia,” kata dia.

Kelima wilayah kejaksaan yang diteliti BPK adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Tenggara. ”Berapa jumlah sebenarnya uang yang harus disetor kejaksaan karena ada 28 kejaksaan tinggi dan puluhan kejaksaan negeri lain yang belum diaudit,” kata Firdaus.

Febri Diansyah, peneliti hukum ICW, menambahkan, ”Ada dua kemungkinan terhadap hal itu, yaitu apakah eksekusinya gagal atau pengelolaan uang yang buruk di kejaksaan.”

Febri dan Firdaus menilai, seharusnya ada investigasi mendalam terhadap pengelolaan keuangan di kejaksaan. Investigasi bisa atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Jaksa Agung.

Menurut Febri, sejak tahun 2005 hingga 2008, BPK selalu menyatakan disclaimer atau tak bisa diperiksa sebab tak memenuhi kaidah pelaporan keuangan negara terhadap pengelolaan keuangan Kejagung. ”Ini menunjukkan hasil penilaian BPK terhadap Kejagung ada yang janggal,” katanya.

Pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menunjukkan kecenderungan yang memburuk. Mengutip hasil audit BPK, Febri menyebutkan, tahun 2007, kerugian keuangan negara hasil korupsi yang laporannya belum diselesaikan kejaksaan pada kas negara sebanyak Rp 7,72 triliun dan tahun 2008 meningkat menjadi Rp 11,33 triliun.

”Hasil audit BPK ini penting disampaikan ke publik secara luas karena sejauh ini publikasinya sangat terbatas. Ini penting untuk pembenahan dan pengawasan institusi pemerintah,” ujarnya.

Hanya lihat angka

Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy menilai ICW hanya melihat angka-angka uang pengganti yang semestinya masuk ke kas negara. Padahal, pada praktiknya, uang pengganti tidak semuanya langsung masuk ke kas negara karena aturannya memungkinkan untuk itu.

”Kalau ICW hanya melihat di kas negara, di Departemen Keuangan, ya tidak ketemu,” kata Marwan di Kejagung, Senin.

Ia menyebutkan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur hukuman subsider berupa hukuman kurungan jika terpidana korupsi tak bisa membayar uang pengganti. Beberapa terpidana tidak memiliki cukup aset untuk membayar uang pengganti sehingga diganti dengan hukuman kurungan.

Namun, kata Marwan, BPK tak mencatat penggantian hukuman itu, hanya mencatat besaran uang pengganti berdasarkan hukuman pengadilan. Padahal, semestinya jumlah uang pengganti dikurangi dengan yang sudah dijalani subsidernya. ”Secara administrasi keuangan masih tercantum, tetapi sudah dijalani hukuman subsidernya. Jadi, harus disinkronkan,” katanya. (aik/idr)

Sumber: Kompas, 20 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan