Ini Isi Surat Lima Guru Besar Terkait Penolakan Remisi Koruptor
Antikorupsi.org, Jakarta, 5 September 2016 – Lima Guru Besar menyurati Presiden RI Joko Widodo untuk menyampaikan penolakan terhadap wacana aturan remisi bagi koruptor. Wacana remisi yang dituangkan melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Warga Binaan itu dianggap bermasalah dalam segi prosedur, substansi, dan alasan penyusunannya.
Lima Guru Besar yang menolak diantaranya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, Prof. Dr. Hibnu Nugroho, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, dan Prof. Dr. Marwan Mas, M.H.
Berikut adalah isi surat yang akan diserahkan hari Senin, 5 September 2016.
Indonesia, 5 September 2016
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo
Di Jakarta
Hal: Permintaan Untuk Menolak Pengesahan Regulasi yang Mempermudah Pemberian Remisi Untuk Koruptor
Dengan Hormat,
Salam Merdeka, Bapak Presiden Joko Widodo yang terhormat. Semoga Bapak dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta terus berkomitmen memberantas korupsi.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat ini sedang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (RPP Warga Binaan). Kementerian beralasan RPP dibuat dilakukan untuk mengurangi kisruh dan kelebihan kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Melalui surat ini kami ingin menyampaikan bahwa RPP ini perlu dikritisi dalam tiga aspek yaitu prosedur, substansi dan alasan pemerintah dalam melakukan penyusunan rancangan regulasi tersebut. Pertama, secara prosedur, proses penyusunan RPP Warga Binaan ini tidak transparan dan tidak partisipatif serta tidak disertai dengan naskah akademik atau kajian yang menjelaskan alasan atau latar belakang perlunya RPP ini.
Kedua, secara subtansi, RPP usulan pemerintah tersebut jelas menguntungkan koruptor karena berupaya memberikan banyak celah dan peluang agar koruptor lebih banyak dan lebih cepat keluar penjara. Syarat utama sebagai justice collaborator dan adanya rekomendasi lembaga yang menangani perkara korupsi dari sang koruptor – seperti KPK – dihilangkan dalam usulan RPP. Setahun napi korupsi sangat mungkin mendapat 3 hingga 4 kali remisi yaitu umum, khusus, tambahan dan kemanusiaan.
Ketiga, alasan RPP untuk mengurangi kelebihan kapasitas penghuni penjara tidak efektif ditujukan kepada napi korupsi. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatn per Juli 2016 menyebutkan jumlah narapidana yang menghuni rutan dan penjara berjumlah 197.670 orang dan sebanyak 3.801 (1,92 %) diantaranya adalah narapidana korupsi.
Sebaiknya Presiden Jokowi perlu secepatnya memanggil Yasona selaku Menteri Hukum dan HAM untuk dimintai klarifikasi dan memperhatikan penolakan dari KPK maupun pihak perguruan tinggi terkait dengan subtansi yang dinilai menguntungkan koruptor.
Hal ini penting karena RPP akan menjadi pertaruhan komitmen pemberantasan korupsi Pemerintah Jokowi-JK. Tanpa ada campur tangan Presiden, dikhawatirkan ada penumpang gelap dan nuansa politis dibalik gagasan mencabut pengetatan syarat pemenuhan hak bagi koruptor sebagaimana tertuang dalam RPP ini.
Pemerintah lebih baik fokus memperkuat instrumen hukum pemberantasan korupsi. Hingga kini setidaknya ada beberapa regulasi yang mendesak untuk segera dibahas, seperti RUU tentang Perampasan Aset, RUU tentang Pembatasan Transaksi Tunai, dan RUU tentang Revisi atas UU Tindak Pidana Korupsi.
Hormat Kami,
Guru Besar Antikorupsi
1. Prof. Dr. Moh. Mahfud MD (Universitas Islam Indonesia)
2. Prof. Dr. Hibnu Nugroho (Universitas Jenderal Soedirman)
3. Prof. Rhenald Kasali, Ph.D. (Universitas Indonesia)
4. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia)
5. Prof. Dr. Marwan Mas, M.H. (Universitas Bosowa '45 Makassar)
Tembusan
1. Ketua MPR RI
2. Ketua DPR RI
3. Menteri Hukum dan HAM
4. Ketua KPK RI