Ingat Anak-Istri, Urip Menangis
Sidang Pleidoi Kasus Suap Jaksa Rp 6 Miliar
Urip Tri Gunawan benar-benar tidak terima dituntut 15 tahun dan denda Rp 250 juta dalam kasus penerimaan suap USD 660 ribu dari Artalyta Suryani alias Ayin. Karena itu, dalam materi pleidoi dalam sidang kemarin (28/8), Urip balas menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mantan kepala Kejari (Kajari) Klungkung itu menuduh lembaga antikorupsi tersebut merekayasa bukti untuk menjerat dirinya. "Berkas perkara tidak sah karena penyidik KPK telah menciptakan alat bukti, bukan menemukan alat bukti," ujar Urip dalam sidang di Pengadilan Tipikor.
Dalam pleidoi berjudul Kebenaran untuk Keadilan, Keadilan untuk Kebenaran itu, koordinator jaksa kasus BLBI II tersebut mempermasalahkan bukti-bukti yang diajukan penyidik KPK, khususnya soal pertemuan di Delta Spa yang berujung pada pemberian uang dari pengacara Glenn Yusuf, Reno Iskandarsyah.
Urip juga mempermasalahkan perlakuan KPK saat dia tertangkap tangan menerima USD 660 ribu dari Ayin di rumah Jalan Terusan Hang Lekir II WG 8, Simprug. "Belum ditetapkan sebagai tersangka, saya sudah diborgol," ujar pria bersafari cokelat muda itu.
Urip juga keberatan atas keberadaan wartawan di lokasi penangkapan. Padahal, gambar pertama berbentuk foto pasca penangkapan Urip didapatkan koran ini ketika dia dibawa ke gedung KPK Kuningan sesaat setelah ditangkap.
Rekaman yang disajikan dalam sidang juga dipermasalahkan, khususnya pembicaraan dengan Ayin via telepon yang diduga untuk skenario kesaksiannya dalam perkara Ayin. "Apa salahnya, kami dan Artalyta Suryani sama-sama terdakwa. Rusli Simanjuntak dengan Hamka Yandhu dalam kasus BI yang satu blok dengan kami, tiap hari bisa bertemu," ujarnya.
Dalam tuntutannya, JPU menganggap kelakuan Urip telah mencemarkan institusi Kejagung. Namun, Urip balas menuduh JPU mencemarkan Kejagung. "JPU sendiri yang mencemarkan nama baik Kejagung," ujarnya. Dia lantas menambahkan alasan bahwa JPU telah memutar rekaman-rekaman percakapan yang melibatkan beberapa pejabat Korps Adhiyaksa itu.
Dengan yakin Urip justru mengungkapkan, seharusnya JPU meringankan hukumannya dengan deretan pengakuan baik versinya sendiri. "Saya sudah mengabdi 17 tahun, tidak pernah menyalahgunakan kewenangan, tidak pernah minum-minuman keras, tidak pernah main perempuan," ujarnya.
Dia juga menyebut dirinya sebagai orang yang "sedikit ilmu dan dapat dipercaya". "Enam kali saya melakukan penuntutan hukuman mati atas kasus narkotika, pembunuhan berencana, dan terorisme karena sedikit ilmu dan dapat dipercaya," ujarnya.
Bukan hanya itu. Urip lantas menyebut prestasi-prestasinya, yakni menjadi Kajari Klungkung pada usia 38 tahun, menjadi Kasubdit Tindak Pidana Ekonomi, menuntut mati terpidana mati bom Bali karena faktor "sedikit ilmu dan dapat dipercaya" itu.
"Artalyta Suryani memberi uang kepada saya karena dia merasa bisa dipercaya dan punya sedikit ilmu," ujar Urip yang terus bersikukuh uang yang diterima dari Ayin adalah untuk usaha perbengkelan, tak ada kaitannya dengan perkara BLBI II BDNI.
Di akhir pleidoinya, saat menyinggung soal keluarga, suara Urip yang semula lantang tiba-tiba tercekat. "Saya memikirkan anak saya yang masih kecil-kecil," ujar Urip, lantas diam.
Agak lama Urip terdiam. Matanya tampak memerah dan berkaca-kaca. Pria berbadan tegap itu sesekali mengusap hidungnya. "Tenangkan dulu, jangan terburu-buru," ujar ketua majelis Teguh Heryanto.
"Bagaimana kehidupan mereka nanti? Yang pertama lima tahun, tiga tahun, dan anak kami yang akan lahir," ujarnya.
Ketika sidang diskors lima menit, Urip yang masih berkaca-kaca memilih bangkit dari duduknya dan menuju jendela. Lama, dia termenung sambil memandang ke luar jendela.(ein/agm)
Sumber: Jawa Pos, 29 Agustus 2008