Indonesia Perlu Regulasi Terkait Konflik Kepentingan
Jakarta, antikorupsi.org (27/10/2015) – Akibat rawannya konflik kepentingan di dalam jabatan mengakibatkan banyaknya pejabat negara terjerat kasus korupsi. Menurut Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono, KPK mencatat lebih dari 60 anggota DPR terjerat kasus korupsi karena disebabkan oleh adanya konflik kepentingan ini.
“Dari kasus korupsi yang disebabkan konflik kepentingan ada sekitar 87 pejabat publik yang menjadi tersangka, 60 diantaranya adalah anggota DPR,” kata Giri saat memberikan paparan dalam Media Briefing Membedah Konflik Kepentingan Parlemen dan Pemberantasan Korupsi, di Jakarta Selatan, Jum'at (23/10/2015)
Selanjutnya masih kata Giri, pengadaan barang dan jasa menjadi unsur kedua dari sekian banyaknya anggota DPR yang terkena kasus suap. Solusinya, anggota DPR harus mau mendeklarasikan apa saja bisnis yang dimiliki dan memiliki persinggungan dengan kewenangan yang dijalani sebagai anggota DPR.
“Tidak pernah kita dengar mereka (anggota DPR) punya bisnis apa dan membidangi apa saat ini di DPR. Kalau berhubungan dengan kewenangannya di DPR seharusnya tidak boleh,” ujarnya.
Giri menegaskan, betapa pentingnya Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur konflik kepentingan secara khusus. Jika regulasi telah dibuat dan ditetapkan maka regulasi tersebut dapat menekan kasus korupsi yang disebabkan oleh konflik kepentingan dalam jabatan.
“Jaksa juga jarang menuntut terdakwa dengan pasal konflik kepentingan atau pasal gratifikasi. Ini disebabkan karena unsur pembuktianya dua aspek tersebut lebih sulit dibanding membuktikan unsur yang lain,” tegas Giri.
Dari penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait potensi konflik kepentingan anggota DPR 2014-2019 sebanyak 52,3 persen anggota DPR saat ini adalah pengusaha, 11 persennya memiliki konflik kepentingan terkait kewenangannya. Partai Gerindra menjadi partai yang memiliki kader pengusaha terbanyak di DPR, yaitu sebesar 69,9 persen. Diikuti oleh Partai Demokrat yaitu sebesar 60,7 persen dan Partai Golkar sebanyak 58,2 persen.
Sedangkan sebaran dari 293 anggota DPR yang menjadi pengusaha berdasarkan komisi, komisi VI menjadi komisi yang paling banyak diisi oleh pengusaha. Setelah dilakukan penelusuran kepada 280 anggota DPR, paling banyak para pengusaha tersebut berada di komisi III, V, VI, dan VII.
“Komisi III itu terkait hukum, HAM, dan keamanan, komisi V berkaitan dengan infrastruktur dan perhubungan, komisi VI berkaitan dengan perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, dan BUMN. Sedangkan komisi VII berkaitan dengan energi sumber daya mineral, serta lingkungan hidup” kata peneliti ICW Divisi Riset Siti Juliantari, di tempat yang sama.
Estu Dyah Arifianti, peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan, bahwa saat ini belum ada regulasi yang mengatur konflik kepentingan bagi pejabat publik. Namun, berkaitan dengan rangkap jabatan, Pasal 236 UU No 17/2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah,(UU MD3) telah mengatur hal tersebut.
“Kita ketahui, tetap saja regulasi tersebut tidak berpengaruh bagi pejabat publik. Maka koalisi masyarakat sipil terus mendorong adanya UU yang mengatur secara jelas tentang konflik kepentingan ini,” tegas Dyah. (Ayu-Abid)