ICW Tuntut Keterbukaan Informasi Keuangan Partai Politik
Salah satu penyebab dari buruknya kualitas demokrasi di Indonesia adalah tiadanya transparansi dalam pengelolaan keuangan partai politik maupun dana kampanyenya. Banyak kasus korupsi yang terungkap menunjukkan bahwa dana dari kejahatan itu digunakan untuk kepentingan pemenangan pemilu, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Untuk mendorong semakin baiknya tata kelola keuangan partai politik, ICW berinisiatif meminta informasi keuangan partai politik dengan dasar UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Adalah sembilan Partai Politik yang mendapatkan kursi di parlemen yang dimintai informasi, baik terkait laporan keuangan maupun program kerja. Sembilan partai tersebut adalah Partai Demokrat (PD), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Sayangnya, setelah beberapa waktu menanti dokumen dimaksud, sebagian besar partai politik tidak mau menyerahkan laporan keuangan dan program kerja yang diminta. Hanya tiga partai politik yaitu PKS, Partai Hanura, dan Partai Gerindra yang merespon dengan menyerahkan Laporan Keuangan. PKS memberikan laporan keuangan tahun 2010. Gerindra menyerahkan laporan keuangan dari APBN tahun 2011 dan surat konfirmasi masih dalam proses audit untuk laporan keuangan. Hanura memberikan laporan keuangan dari APBN tahun 2011.
Padahal permintaan tersebut berdasarkan pada UU KIP Pasal 15 huruf (b) dimana partai politik wajib menyediakan informasi publik berupa program umum dan kegiatan partai politik. Selain itu, permintaan informasi telah sesuai dengan Pasal 39 ayat (3) UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik yang menyebutkan bahwa Partai Politik wajib membuat laporan keuangan dan terbuka untuk diketahui masyarakat.
Karena hingga tenggat waktu sebagaimana UU KIP beberapa partai politik tidak menyerahkan laporan keuangannya, sementara mediasi Komisi Informasi Pusat (KIP) pun terancam gagal, maka ICW pun berancana mengajukan gugatan ajudikasi kepada KIP sebagai langkah terakhir untuk mendapatkan kepastian informasi. Diharapkan dari ajudikasi tersebut, partai politik akan menyerahkan laporan keuangan dan program kerja mereka.
Partai Politik di daerah
Setali tiga uang dengan kantor pusatnya, partai politik di daerah juga banyak yang enggan memberikan laporan keuangan dan program kerja mereka. Bahkan yang lebih buruk, ada beberapa partai politik yang tidak memiliki laporan keuangan sama sekali. Tentu hal ini menunjukkan bahwa tata kelola partai politik di Indonesia sangat buruk. Bisa dikatakan, pengurus partai politik tidak menjalankan kewajibannya untuk mencatat semua penerimaan dan pengeluaran dana yang diterima. Gambaran ini kian mempertegas asumsi bahwa keuangan partai politik berasal dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Penolakan sebagian partai politik atas keterbukaan informasi publik tentu bertolakbelakang dengan komitmen mewujudkan transparansi dan akuntabilitas partai. Padahal selama ini, semua partai politik secara lisan mendukung transparansi dan antikorupsi. Disamping itu, partai politik seharusnya bersikap terbuka karena sumber dana yang mereka gunakan berasal dari publik dan pada sisi yang lain, partai politik kini tengah meminta kenaikan subsidi dari negara.
Hingga saat ini, ICW dengan KIP sebagai mediator, sedang terus berkomunikasi dengan partai politik untuk meyakinkan pentingnya keterbukaan informasi publik. Harapannya, ada perubahan yang -meskipun secara bertahap- lebih baik dalam tata kelola keuangan partai politik di Indonesia.***