ICW: Jaksa Bisa Sita Aset Asian Agri
"Penyitaan harus berdasar pembuktian," kata pengacara Asian Agri.
Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Kejaksaan Agung menggunakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat pelaku dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group senilai Rp 1,4 triliun. Sebab, menurut ICW, dalam kasus itu terdapat unsur kerugian negara seperti yang dituduhkan penyidik Direktorat Jenderal Pajak.
"Dengan delik korupsi, jaksa bisa menyita aset Asian Agri untuk mengganti kerugian negara," kata peneliti hukum ICW, Febri Diansyah, dalam jumpa pers di Jakarta kemarin.
Selain bisa menyita aset, kata Febri, delik korupsi memungkinkan pelaku dihukum lebih berat dibandingkan bila dijerat dengan Undang-Undang Perpajakan. Keuntungan lain, dia melanjutkan, bila Kejaksaan gagal, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa mengambil alih kasus ini.
Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung awal bulan ini melakukan gelar perkara Asian Agri. Seusai pemaparan kasus, kedua lembaga itu bersepakat untuk bekerja sama menangani kasus ini secara bertahap. Saat itu Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan penyidik Direktorat Jenderal Pajak telah merampungkan 21 berkas penyidikan dan menetapkan 10 tersangka. Tapi jaksa dan penyidik Pajak baru memiliki persepsi sama atas dua berkas dengan dua tersangka. Kedua lembaga mentargetkan penyiapan dua berkas itu rampung dalam sebulan.
Namun, Kejaksaan menyatakan kasus pajak Asian Agri tak bisa dikenai delik korupsi. Sebab, dalam kasus tersebut tak terdapat unsur kerugian negara. "Yang ada mengurangi pendapatan negara," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Jasman Pandjaitan, saat dihubungi kemarin. "Merugikan keuangan negara berbeda dengan mengurangi pendapatan negara."
Jasman menjelaskan, dalam kasus dugaan penggelapan pajak, penerapan pasal pidana hanya digunakan terakhir (ultimum remedium). "Yang diutamakan adalah pasal administrasi," ujarnya.
Selain itu, Jasman melanjutkan, hal lain yang membuat delik korupsi tak bisa diterapkan adalah sifat lex specialis Undang-Undang Perpajakan di bidang perpajakan. Menurut Jasman, bila Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi digunakan, dikhawatirkan terjadi kesalahan penerapan hukum.
Dengan demikian, kata Jasman, penyitaan aset Asian Agri, bila kelak perusahaan ini terbukti melakukan penggelapan pajak, tak bisa dilakukan. "Yang ada itu denda," kata dia.
Adapun Asian Agri menolak penyitaan tersebut. "Cara menyitanya bagaimana, selama ini ketetapan (perhitungan kerugian) juga belum jelas," kata Yan Apul, pengacara Asian Agri, saat dihubungi kemarin.
Kendati begitu, Yan mengakui penyitaan memang bisa dilakukan asalkan ketetapan atas perhitungannya sudah ada. Misalnya harta yang disita bisa saja berbentuk kebun atau harta lainnya. "Tapi penyitaan harus berdasar pembuktian," ujarnya.
Dalam kasus ini, Yan malah menduga justru negara tidak dirugikan. Sebab, selama ini pemerintah hanya menduga-duga dengan menyebut angka Rp 1,4 triliun dan tidak jelas apa yang dirugikan. "Kami sangsi negara dirugikan," katanya. ANTON SEPTIAN | Mustafa Silalahi
Sumber: Koran Tempo, 17 April 2009
{mospagebreak title=Jaksa agar Gunakan Pasal Korupsi untuk Asian Agri}
Jaksa agar Gunakan Pasal Korupsi untuk Asian Agri
Indonesia Corruption Watch meminta kejaksaan untuk serius menangani perkara pajak Asian Agri Group, yang saat ini di tangan penyidik Direktorat Jenderal Pajak. Jaksa juga diminta menjerat aktor utama, bukan hanya pelaku di lapisan bawah dan tengah.
Hal itu disampaikan Ketua Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko dan peneliti hukum ICW, Febri Diansyah, dalam jumpa pers di Kantor ICW, Kamis (16/4).
”Kami meminta jaksa untuk menjerat pelaku kasus pajak Asian Agri Group dengan pasal berlapis, yakni dengan Undang-Undang Pajak dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Danang.
Menurut Febri, dengan hanya menggunakan UU Perpajakan, tuntutan dapat rapuh dan ditolak majelis hakim. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39 UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, perbuatan pidana apabila menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau lengkap. Perbuatan pidana lain adalah memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu, dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.
Febri memperkirakan, apabila Asian Agri disebutkan tidak benar laporan perpajakannya, penasihat hukumnya dapat mengarahkan ke persoalan administrasi atau perdata, bahkan penipuan. (IDR)
Sumber: Kompas, 17 April 2009