Hukuman Mati Koruptor Picu Pro-Kontra
Ada yang setuju dengan syarat, ada yang menolak.
Hukuman mati bagi koruptor masih memicu pro dan kontra. Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, kemarin menyatakan mendukung hukuman mati dengan sejumlah syarat. "Saya sebagai anggota Satgas setuju (hukuman mati)," kata Achmad saat dihubungi kemarin.
Achmad mengemukakan sejumlah alasan mengapa koruptor harus dihukum mati, antar lain korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi juga telah mendorong pemiskinan masyarakat, membuat bangsa Indonesia rentan dan lemah, serta menggerogoti kemampuan Indonesia dalam memobilisasi investasi.
Namun, menurut Achmad, perlu ada kesepahaman dulu soal jenis korupsi seperti apa yang pelakunya pantas dihukum mati. Misalnya, korupsi yang didorong oleh keserakahan atau kerakusan serta korupsi yang memanfaatkan penderitaan.
Selain itu, menurut Achmad, penerapan hukuman mati tak bisa berdiri sendiri. Hukuman mati harus diimbangi dengan perbaikan sistem peradilan. Peradilan, kata dia, harus bersih dari praktek-praktek manipulasi. "Susah membayangkan jika hukuman mati dihasilkan dari proses yang tak bersih," ujar Achmad.
Isu soal pentingnya hukuman mati bagi koruptor kembali digulirkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar pada Kamis lalu. Menurut Menteri, secara normatif, undang-undang yang mengatur hukuman mati koruptor sudah ada. Menteri merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Patrialis, orang yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu bisa dihukum mati. Keadaan tertentu itu, misalnya, saat negara dilanda bencana atau krisis, ada orang yang mengkorupsi dana bencana atau uang negara.
Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin juga menyambut usulan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Agar tidak berhenti sebatas wacana, Azis menyarankan Kementerian Hukum dan HAM mempertegas dan mengusulkan pasal-pasal hukuman mati dalam rancangan undang-undang. "Jangan hanya digelindingkan, harus ada langkah konkretnya," ujar Aziz kemarin.
Namun sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, berpendapat beda. "Hukuman mati harus ditolak," kata dia. Alasannya, tak ada manusia yang berhak mencabut nyawa manusia lainnya. Selain itu, dalam sistem pengadilan yang masih korup, orang yang tak bersalah bisa saja dihukum mati.
Thamrin mengusulkan agar koruptor dihukum dengan cara-cara yang bisa membuat malu dan jera. Misalnya, dibuat penjara khusus koruptor yang bisa dilihat orang ramai. Selain itu, pengadilan kasus korupsi perlu menerapkan sistem pembuktian terbalik. Para tersangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa mereka bersih dari tuduhan korupsi. "Saya kira itu akan lebih mempunyai efek jera yang berkelanjutan," kata Thamrin.
Sebelumnya, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi juga menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip hak asasi. Hak seseorang untuk hidup, menurut dia, tak dapat dilanggar dan ditunda pemenuhannya. APRIARTO MUKTIADI | Febriana Firdaus | EVANA DEWI
Sumber: Koran Tempo, 11 April 2010