Hentikan BLT, Ganti Bantuan Pendidikan
Meskipun diterima masyarakat, kebijakan pemberian bantuan langsung tunai selayaknya dihentikan. Selain tidak mampu membangkitkan semangat berusaha warga, bantuan tersebut dinilai juga merusak modal sosial di tingkat masyarakat miskin.
File presentasi ICW |
Sebagai alternatif pengganti, pemerintah dapat menggulirkan program bantuan pendidikan dan kesehatan yang mampu mengurangi pengeluaran warga untuk memenuhi dua kebutuhan tersebut.
Selain itu, pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat makro dan mikro guna meningkatkan pendapatan warga. Demikian mengemuka dalam jumpa pers yang digelar, Senin (29/6) di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta.
Peneliti ICW, Ratna Kusumaningsih, mengatakan bahwa meskipun bertujuan membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, bantuan tersebut ternyata tidak mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga warga miskin.
Bahkan, indeks koefisien gini yang mengukur kesenjangan pendapatan rumah tangga kaya dan rumah tangga miskin terus meningkat sejak program tersebut digulirkan.
Menurut Ratna, semakin tinggi indeks koefisien gini menunjukkan kesenjangan antara kaya dan miskin makin tajam. Oleh karena itu, selayaknya pemerintah meninjau kembali program itu dan menggantinya dengan program lain yang lebih memampukan warga untuk berusaha.
Saling curiga
Hal itu juga dikemukakan oleh Tulus Abadi dari YLKI. Selama ini, mereka melihat, BLT justru meningkatkan sikap ketergantungan warga penerima. Bahkan tingkat kepercayaan antarmasyarakat terganggu karena munculnya kesalingcurigaan di antara mereka.
Hal itu ditunjukkan dengan munculnya berbagai kasus yang mengiringi pembagian dana bantuan tersebut, salah satunya terjadi di Tangerang. Beberapa warga yang hadir dalam jumpa pers itu mengatakan, mereka diminta menyetor uang Rp 20.000 untuk mendapatkan kupon untuk menerima BLT.
Pungutan liar yang dilakukan oleh ketua rukun tetangga setempat tersebut memunculkan gugatan dan saat ini perkaranya tengah ditangani oleh Kejaksaan Negeri Tangerang. Solidaritas antarwarga pun juga terganggu karena ketidakpercayaan tersebut. Dampak buruk program BLT terhadap modal sosial itu tidak dapat diabaikan. (JOS)
Sumber: Kompas, 30 Juni 2009
{mospagebreak title=Banyak Penyalahgunaan, Stop BLT}
Banyak Penyalahgunaan, Stop BLT
Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar program bantuan langsung tunai (BLT) dihentikan. Dana kompensasi kenaikan harga BBM yang bertujuan meringankan beban masyarakat miskin itu diduga banyak disalahgunakan dan justru merugikan.
Menurut ICW, banyak temuan indikasi bocornya BLT sebelum sampai ke masyarakat. Nilai kebocorannya cukup tinggi. Karena itu, pemerintah disarankan mencabut program BLT. ''Banyak pungutan liar yang dilakukan oknum pemda,'' kata peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febry Hendri saat media briefing di kantornya kemarin (29/6).
BLT juga dianggap merusak aspek moral dan sosial masyarakat miskin. ICW menilai, karena BLT, kemandirian masyarakat menurun. Mereka cenderung bergantung pada dana bantuan dan malas bekerja. Kepercayaan juga makin turun karena saling curiga di antara mereka yang mendapat dan tidak mendapat BLT. ''Empati di antara masyarakat, setelah dapat BLT, makin menurun. Perbedaan pendapat makin runcing,'' ungkapnya.
BLT juga terbukti memakan korban jiwa. Banyak warga, kata dia, meninggal karena berdesakan saat antre BLT. Seorang warga di Muara Bungo, Jambi, ditemukan tewas karena ditikam sesama warga yang merasa iri tidak mendapat BLT. ''Itu mengindikasikan ada yang tidak beres dalam kebijakan tersebut,'' ujarnya.
Febry menyarankan agar pemerintah mengalokasikan dana BLT ke pos kesehatan dan pendidikan. Alasannya, ketika dana kesehatan lebih, penduduk akan kian produktif. Hal tersebut berpengaruh baik bagi negara. Kalau dana pendidikan ditambah, kualitas generasi mendatang akan meningkat. ''Itu investasi bagi bangsa,'' terangnya. (zul/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 30 Juni 2009
{mospagebreak title=Press Release bersama ICW, YLKI dan MP3}
Press Release bersama ICW, YLKI dan MP3
Pungutan kepada penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah suatu masalah yang mungkin sudah biasa. Uang 20000 mungkin kecil bagi orang kaya dan bekerja mapan. Namun bagi orang berekonomi menengah kebawah (middle lower) nilai itu sangat berarti. Hal ini terjadi di kelurahan Kosambi, kota Tangerang, sebanyak 1263 KK dipungut biaya Rp 20000 sebagai syarat untuk mendapatkan BLT. Rp 20000 ini dipungut dengan adalan biaya kupon BLT. Ketika ada satu rumah dengan 2 KK dan hanya memiliki uang Rp 30000, aparat desa tetap tidak memberikan kupon tersebut. Setelah ada penelusuran lebih lanjut, ternyata Rp 20000 itu nantinya akan disetor Rp 10000 kepada oknum dan Rp 10000 lagi dibagi-bagi kepada petugas-petugas pembagi BLT.
Peristiwa diatas menggambarkan salah satu dari sekian banyak masalah dalam BLT. Pungutan ini adalah bagian dari sekian modus dalam penyimpangan penyaluran BLT. Ada beberapa modus lainnya seperti penggelapan dana BLT, pihak desa meminta dana BLT dari RTS, pemotongan dana BLT, kartu BLT tidak diserahkan kepada RTS (Rumah Tangga Sasaran), pengurangan jumlah RTS, pengendapan dana BLT, salah sasaran, penyelewengan dana BLT dengan berbagai alasan, pemalsuan kartu BLT, kartu tidak diserahkan kepada RTS dan akurasi data.
Modus-modus diatas telah terjadi sejak munculnya kebijakan BLT oleh pemerintah (2005). Aktor-aktor yang melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran BLT adalah banyak ditingkat desa (pengurus RT/RW, ketua RT/RW, Kepala Desa), kecamatan, Pos dan Giro, Polsek, dan Dinas Sosial. Namun sepertinya sedikit yang ditindak lanjuti kasusnya.
Selain penyimpangan-penyimpangan yang terjadi ditiap tahunnya, bukan hanya materi yang menjadi kerugian bagi RTS, mekanisme pencairannya pun menuai banyak korban. Baik luka-luka hingga meninggal dunia. Apakah memang harus seperti itu, ketika masyarakat penerima BLT hendak mendapatkan hak nya?
Hal ini harusnya menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Peran-peran yang dimainkan tidak hanya sebagai regulator namun ada peran pengawasan jalannya kebijakan tersebut. Sangat disayangkan ketika kebijakan bagi publik ini (terutama masyarakat menengah kebawah) malah menimbulkan masalah. Banyak opini tentang kebijakan BLT ini. Mulai dari BLT adalah kebijakan yang tidak mendidik rakyat, hanya memberikan “ikan” bukan “kail”, kemandirian rakyat didistruksi dengan adanya BLT dan juga masalah social capital (modal sosial). Kepercayaan masyarakat akan kemandirian dirinya seakan dihambat oleh BLT. Ketergantungan terhadap dana bulanan (Rp 10.0000,-/bln/RTS) yang digelontorkan pemerintah dapat membuat rakyat bermanja-manja, sehingga keinginan untuk produktif (bekerja) menurun.
Belum lagi pertanyaan atas keefektifan penggunaan dana BLT ini. Saat ini terdapat 19 juta kepala keluarga miskin penerima dana BLT. Dengan prevalensi perokok penduduk miskin laki-laki dewasa sebesar 63%, diperkirakan terdapat sekitar 2/3 adalah kepala keluarga perokok. Dengan kata lain, 12 juta kepala keluarga miskin menggunakan dana BLT untuk membeli rokok. Hasil Susenas 2006 menunjukkan rata-rata pengeluaran rokok pada keluarga perokok adalah sebesar Rp 117 ribu per bulan dan pada keluarga miskin sebesar Rp 52 ribu. Artinya, lebih dari separo dana BLT dihabiskan untuk membeli rokok!
Fenomena ini jelas sangat ironis, dan paradoks. Masyarakat miskin, dengan income yang sangat terbatas, masih salah pula dalam membelanjakan pendapatannya. Jika fenomena ini terus dibiarkan, tanpa adanya sentuhan kebijakan yang konkrit dan menyeluruh, sangat boleh jadi wabah kemanusiaan ini akan mengalami eskalasi yang tak terbendung. Target Indonesia Sehat 2010 atau pencapaian MDG’s akan sangat musykil, mitos belaka.
Perilaku masyarakat miskin inipun tidak bisa seratus persen disalahkan. Karena mungkin mereka tidak tahu akan tujuan-tujuan kebijakan publik yang digulirkan oleh pemerintah. Oleh karena itu pertanyaan besar bagi kebijakan BLT adalah apakah memang sejak 2005-sekarang, tujuan-tujuannya sudah tercapai? Apakah kesejahteraan masyarakat miskin mengalami perbaikan, apakah masyarakat benar-benar sudah menggunakan dana BLT ini untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya? Dan apakah ini menjawab adanya tanggung jawab social bersama, padahal kemandirian rakyat telah terenggut oleh adanya BLT.
Jakarta, 29 Juni 2009
ICW, YLKI dan MP3