Hehamahua Siap Ditembak Koruptor
Harta Terkecil, Handoyo Merasa Sangat Kaya
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menyatakan siap mati jika nanti memimpin komisi antikorupsi itu.
’’Korupsi merupakan perang luar biasa. Saya katakan kepada keluarga, persoalan korupsi, saya siap (mati) syahid. Bukan mati di tempat tidur. Apakah ditembak, apakah dikerjain koruptor. Itu niat saya,’’ tegasnya saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di depan anggota Komisi III DPR, Selasa (29/11).
Pria berumur 63 tahun itu mengatakan, salah satu persoalan yang harus diperbaiki KPK ke depan adalah koordinasi dan supervisi, baik dalam penanganan kasus maupun kerja sama dengan intitusi penegak hukum lain, seperti Polri dan kejaksaan.
Usai fit and proper test, kepada pers dia menegaskan bahwa dirinya tidak akan melakukan lobi-lobi ke fraksi-fraksi di DPR dalam rangka mencari dukungan.
Menurutnya, jika itu dilakukan, hanya akan menjadi perangkap saat nanti terpilih dan menjalankan tugas.
’’Itu bisa jadi perangkap. Akhirnya nanti mereka rugi, saya juga rugi, KPK rugi, bangsa dan negara rugi,’’ ujarnya.
Mantan wakil ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (2001-2004) itu menambahkan, hingga kemarin belum ada fraksi yang mendekati dan menyatakan mendukungnya secara informal.
’’Mungkin karena mereka tahu saya tidak bisa dilobi,’’ tegasnya.
Ditanya mengenai peluang keterpilihannya, Hehamahua menyerahkan sepenuhnya pada Komisi III.
Menurutnya, meskipun menurut Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK dia diunggulkan, itu belum menjamin dirinya bakal terpilih. Hal itu karena terdapat perbedaan pendekatan antara DPR dan Pansel.
’’Pansel kan menggunakan pendekatan akademis, metode internal. Anda harus paham DPR itu lembaga politik. Pendekatannya kan lain. Makanya terserah mereka, mau ikut cara Pansel atau cara mereka,’’ kata dia.
Selain Hehamahua, kemarin Komisi III juga menguji calon lain, Handoyo Sudrajat. Dalam pemaparannya,
Handoyo yang saat ini menjabat deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK itu mengungkapkan, KPK selama ini mengalami dilema dalam penanganan kasus korupsi.
Di satu sisi, berbagai pihak menginginkan KPK hanya menangani kasus-kasus dengan nilai kerugian negara yang besar. Namun, di sisi lain, KPK harus memperhatikan harapan masyarakat di daerah.
’’Para pelapor yang datang dari daerah yang jauh-jauh berharap laporan mereka ditangani KPK. Kasus sudah dilaporkan ke penegak hukum setempat, tapi tidak kunjung tuntas,’’ katanya.
Menurut Handoyo, penanganan kasus korupsi berdasarkan nilai kerugian negara, sangat relatif. Kasus korupsi yang dianggap besar di daerah, belum tentu dinilai besar di pusat.
’’Kecil di daerah, tapi dampaknya bisa sangat fatal untuk daerah yang masih kurang maju,’’ katanya.
Oleh karena itu, KPK ke depan harus seimbang dalam penanganan kasus korupsi, antara yang besar di pusat dan kasus korupsi kecil di daerah.
’’KPK harus mampu memenuhi tuntutan publik dalam penanganan kasus-kasus korupsi di pusat dan di daerah,’’ ujar Handoyo.
Meski begitu, KPK ke depan harus menunjukkan sikap tegas terhadap koruptor. Salah satunya melalui hukuman mati dan memiskinkan pelaku korupsi.
’’Hukuman mati diharapkan mampu menjadi efek jera terhadap pelaku. Cara lain, mengembalikan seluruh kekayaan hasil korupsi tersebut.’’
Dalam kesempatan itu, Handoyo dicecar soal kekayaannya yang ’’hanya’’ berjumlah Rp 360 juta, terkecil di antara capim lain. Anggota Komisi III DPR Yabdhil Harahap heran dengan kekayaan Handoyo.
”Apa Bapak yang boros atau bagaimana? Kami perlu mendapat klarifikasi” tanya Yabdhil.
Handoyo mengatakan, memang hartanya hanya sebesar itu, mengingat latar belakangnya sebagai akuntan pegawai negeri.
”Saya akuntan, tapi pegawai negeri. Itulah penghasilan saya selama ini,’’ jelasnya.
Ketika ditanya lebih lanjut usai uji kelayakan, Handoyo menyatakan nilai Rp 360 juta itu besar.
”Itu sudah sangat kaya, bagi saya sudah sangat kaya.”
Hari ini, uji kelayakan akan dilanjutkan. Berdasarkan jadwal, capim yang akan dites adalah Adnan Pandu Praja dan Yunus Husein.
Lebih Berpeluang
Meskipun Komisi III DPR menegaskan tidak terpaku pada pemeringkatan oleh Pansel, namun setelah menguji separuh jumlah capim, kemungkinan pilihan DPR sama dengan Pansel menjadi terbuka.
Capim dengan peringkat atas dinilai lebih berpeluang terpilih karena memiliki kualifikasi melebihi kandidat di luar empat besar hasil pilihan Pansel.
’’Urutan yang dibuat Pansel juga harus jadi pertimbangan serius, karena mereka berisi orang-orang kredibel dan membuat urutan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan objektif. Jadi, tidak asal mengurutkan,’’ kata anggota Komisi III Teguh Juwarno di sela-sela uji kelayakan dan kepatutan.
Berdasarkan pemeringkatan oleh Pansel, Hehamahua dan Handoyo Sudrajat masing-masing berada di
urutan tiga dan empat. Menurut Teguh, kedua calon itu layak didukung sebagai pimpinan KPK periode 2011-2015.
Khusus Hehamahua, dia memberi dukungan penuh agar terpilih. ’’Dari rekam jejak, keberanian, dan integritas tidak perlu diragukan. Pengalaman juga memadai,’’ katanya.
Kendati demikian, sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menangkap suasana ’’kebatinan’’ di Komisi III yang menempatkan Hehamahua bukan sebagai kandidat populer. Menurutnya, bila Komisi III objektif, Hehamahua pasti terpilih.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa mengatakan, fraksinya mendukung Hehamahua selain Bambang Widjojanto dan Yunus Husein untuk memimpin KPK. Menurutnya, penasihat KPK itu memenuhi semua persyaratan.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu juga menyoroti kiprah Hehamahua yang memiliki rekam jejak sebagai pegiat antikorupsi jauh sebelum KPK terbentuk. Apalagi soal integritas, Hehamahua sangat teruji.
’’Dia mengalami proses perjalanan panjang untuk bisa mempertahankan integritasnya,’’ tambah Saan.
Wakil Sekjen Partai Demokrat itu menambahkan, sebelum menentukan capim yang dipilih pada 2 Desember mendatang, kemungkinan besar Setgab Koalisi akan mengadakan rapat, walaupun tidak akan menentukan nama-nama yang dipilih dan tetap memberi kebebasan kepada fraksi-fraksi. (J22,H28,dtc-25,59)
Sumber: Suara Merdeka, 30 November 2011