Haryono Umar, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan:Manajemen Utang Luar Negeri Kita Tidak Beres

Dalam 20 tahun terakhir, tidak ada catatan pasti soal jumlah utang luar negeri Indonesia. Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan angka yang berbeda-beda. Ada yang bilang Rp 460 triliun, ada juga yang mengatakan Rp 1.600 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi mensinyalir banyak utang luar negeri yang tidak termanfaatkan secara tepat. Cheta Nilawaty dan Sutarto dari Koran Tempo menemui Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar di ruang kerjanya pada Selasa pekan lalu. Berikut ini petikannya.

Apa hasil pengawasan pengelolaan utang oleh KPK saat ini?

    Semula Badan Pemeriksa Keuangan hanya menyampaikan temuan soal utang luar negeri sebanyak 66 sampel dari 2.414 loan agreement. Kami lalu mendatangi Departemen Keuangan. Dari situ ternyata ada sekitar 4.400 loan agreement. Ironisnya, di pemerintah daerah pun banyak loan agreement yang macet. KPK menemukan, pada salah satu pemerintah daerah, sewaktu awal penekenan loan agreement cuma Rp 27 miliar. Tapi, karena didiamkan, lalu membengkak menjadi Rp 87 miliar.

Itu pemerintah daerah mana dan pada tahun berapa?

    Saya belum mendapat perinciannya. Tapi, menurut Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, ada 50 persen utang luar negeri di daerah yang macet. Akibatnya, seperti ijon di masyarakat, tahu-tahu, lantaran utang membengkak, rumahnya hilang. Itu baru satu pemerintah daerah. Padahal ada 400-500 pemerintah daerah.

Jika dipetakan, utang luar negeri mana saja yang macet?

    Justru ini yang akan kami petakan, terutama terhadap 4.400 loan agreement dalam 20 tahun belakangan ini. Bagaimana loan agreement itu dan biaya apa saja yang bisa terjadi di situ. Jika proyek sudah selesai, bagaimana manfaatnya.

Lalu apa saja masalahnya?

    Macam-macam. Misalnya dana talangan yang tidak dibayar. Rekening khusus yang tidak ditutup. Akibatnya, bunga harus terus dibayar. Kemudian juga berkaitan dengan manajemen yang tidak benar. Terkait dengan utang yang macet seperti ini, di pemerintah daerah dan badan usaha milik negara juga banyak. Bahkan, menurut analisis ahli dari Jepang, dua per tiga loan agreement itu hasilnya kembali lagi ke luar negeri.

Artinya sekian banyak utang itu belum tentu bermanfaat?

    Itu yang harus dianalisis. Meski bunga pinjaman rendah, segi lainnya jangan dirugikan, seperti dana talangan yang tidak dibayar oleh peminjam. Jangan sampai juga dana pendamping sudah dikeluarkan tapi proyek tidak jalan. Akibatnya, pay for nothing (membayar yang tak berguna). Kami maunya, utang is oke utang, tapi ekonomi kita tumbuh.

Dari 4.400 loan agreement itu, berapa nilai kontraknya?

    Hingga saat ini belum diperoleh jumlah pasti. Sebab, tidak ada data yang persis sama. Departemen Keuangan mengatakan Rp 460 triliun, ada yang mengatakan Rp 1.600 triliun. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bank Indonesia, bahkan pemberi pinjaman juga berbeda. Tapi intinya, kami akan langsung petakan. Hasilnya akan kami rekomendasikan.

Setelah rekomendasi, lalu apa?

    Kami hanya merekomendasi. Sedangkan yang mengambil tindakan pemerintah. KPK tidak berwenang. Tapi, jika dalam rekomendasi itu memang kesalahan, kami bisa langsung bertindak.

Sumber: Koran Tempo, 17 Maret 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan