Hakim Eddy Dinonpalukan
Majelis Kehormatan Hakim (MKH), Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) menjatuhkan hukuman kepada Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Eddy, karena melanggar kode etik profesi.
Juru Bicara KY, Asep Rahmat Fajar, mengatakan, MKH menjatuhkan vonis, mutasi terhadap Eddy, ke Pengadilan Tinggi (PT) Jambi, menjadi hakim tinggi non-palu, selama dua tahun. ‘’Putusannya dimutasi menjadi hakim nonpalu di PT Jambi, selama dua tahun dan remunerasi tidak diberikan selama dua tahun tersebut,’’ ujar Asep di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, MKH menilai, Eddy telah melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua KY - Ketua MA tentang kode etik dan perilaku hakim, angka 2.1.1 yaitu hakim tidak boleh meminta, menerima janji, hadiah dari orang yang sedang diadili.
Eddy juga dinilai melanggar kode 5.2.3.2, dan kode 7.1 yang berisi larangan hakim menggunakan wibawa jabatan untuk mengejar kepentingan pribadi. (D3-25)
Sumber: Suara Merdeka, 25 mei 2011
-------------------
Hakim Calo Perkara Diskors 2 Tahun
Majelis kehormatan hakim menjatuhkan skors selama dua tahun terhadap Eddy, hakim Pengadilan Negeri Mataram. Hakim dengan golongan pembina (IV-A) itu duduk di kursi pesakitan dalam sidang bentukan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tersebut gara-gara menerima uang Rp 100 juta. Duit itu adalah uang "terima kasih" karena membantu mencarikan pengacara untuk pengajuan perkara kasasi. "Saudara Eddy dimutasi sebagai hakim nonpalu di Pengadilan Tinggi Jambi selama dua tahun. Dan pencabutan remunerasi," kata komisioner Komisi Yudisial, Taufiqurrohman Syahuri, selaku ketua majelis kehormatan, di gedung MA kemarin.
Kasus ini bermula saat Eddy menjadi hakim di Pengadilan Negeri Dumai, Jambi, pada 2008. Eddy bertemu dengan Ita Mariani, teman sekolahnya. Saat bertemu, Ita meminta bantuan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Ita kala itu terkait dengan perkara sengketa lahan. Dalam kasus tersebut, dia kalah di pengadilan negeri dan tingkat banding. Eddy mengatakan tak bisa membantu. Dia lalu mengenalkan Ita kepada seorang pengacara bernama Edy Hamsy.
Eddy juga menyebutkan angka Rp 100 juta untuk biaya pengajuan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Uang itu antara lain sebagai jasa pengacara membuat memori kasasi. "Saya bilang biaya untuk membuat memori kasasi paling habis Rp 100 juta," ujarnya menjawab pertanyaan hakim Supendi, anggota majelis kehormatan.
Atas arahan Eddy, Ita lalu mentransfer uang Rp 100 juta itu kepada Eddy. Tak lama berselang, uang pun berpindah tangan kepada Edy Hamsy. "Saya dikasih Rp 15 juta oleh Edy," kata Eddy. Belakangan, majelis kasasi MA dalam putusannya menolak permohonan kasasi Ita yang diajukan Edy. Ita kecewa dan meminta uang dikembalikan. Ita lalu melaporkan masalah ini ke Komisi Yudisial karena uang tak kunjung dikembalikan.
Eddy mengakui kesalahannya. "Saya tidak menduga kalau ini menjadi masalah di kemudian hari," ujarnya. Saat menerima transfer, Eddy membuat tanda bukti penerimaan. Soalnya, dia berpikir sebatas membantu mencarikan pengacara tak akan bermasalah. Eddy mengatakan sudah mengembalikan uang Rp 55 juta. Jumlah itu terdiri atas Rp 25 juta dari dia ditambah Rp 30 juta dari pengacara Ita, Edy Hamsy. DIANING SARI
Sumber: Koran Tempo, 25 Mei 2011