Hakim Bisa Usut Keberadaan Rekaman Ade Rahardja-Ari Muladi
Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Andi Tumpa angkat suara terkait polemik barang bukti rekaman percakapan antara Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ade Rahardja dan Ari Muladi. Dia mengatakan, majelis hakim Pengadilan Tipikor bisa mengusut rekaman percakapan itu meski barang bukti hanya berupa CDR (call data record) alias catatan data panggilan.
Harifin mengatakan, langkah tersebut dapat dilakukan dengan mengundurkan persidangan mendatang yang mengagendakan pembacaan surat tuntutan. Majelis hakim, ujar Harifin, mengganti agenda sidang dengan pemeriksaan CDR yang akan diserahkan polisi. ''Penuntutan itu kan bagian dari hukum acara. Hakim masih memiliki kewenangan menerima call data record itu,'' kata Harifin di gedung MA kemarin (13/8).
Menurut Harifin, meski hanya berupa CDR, barang bukti itu bisa diajukan ke pengadilan. ''Itu mungkin hanya soal penafsiran. Sebab, katanya, polisi tidak pernah menyatakan ada rekaman pembicaraan. Yang ada hanya CDR,'' kata Harifin. Soal bisa tidaknya CDR menjadi petunjuk awal adanya rekaman, kata Harifin, itu bergantung kepada pembuktian di hadapan majelis hakim.
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Tjokorda Rae Suamba menyatakan tak mau memundurkan kembali sidang hanya untuk memeriksa CDR. Alasannya, agenda sidang tak bisa diundur-undur lagi. Lagi pula, dia sudah tiga kali memerintah polisi menyerahkan rekaman tersebut. Namun, polisi tak pernah menyerahkan rekaman itu hingga akhirnya menyatakan hanya berupa CDR.
Rekaman percakapan Ade Rahardja dengan Ari Muladi belakangan menjadi polemik. Rekaman itu tidak ada. Tim penyidik Mabes Polri ternyata hanya menyimpan CDR, bukan rekaman percakapan secara utuh. Padahal, sebelumnya pejabat Polri dan Kejaksaan Agung menyatakan rekaman itu ada. Tak pelak, sejumlah kalangan lantas menganggap terjadi kebohongan publik oleh pejabat tersebut.
Pada bagian lain, Menko Polhukam Djoko Suyanto rupanya tidak menginginkan permasalahan rekaman pembicaraan Ade Rahardja dengan Ari Muladi berkepanjangan. Djoko menyatakan tidak perlu mengklarifikasi ke Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri kendati bukti tersebut hanya berupa CDR. ''Untuk apa? Masak keterangan dari Polri kurang. Apa lagi yang perlu dikonfirmasi,'' kata Djoko sebelum menghadiri acara penganugerahan tanda kehormatan di Istana Merdeka kemarin. Begitu juga kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji, Djoko tidak akan melakukan klarifikasi.
Menurut dia, keterangan yang diberikan Polri melalui Kadivhumas sudah dianggap cukup. ''Jadi tidak usah diragukan lagi,'' tegas mantan panglima TNI itu.
Djoko yang juga ketua Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) mengutip pernyataan Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum) DPR Tjatur Sapto Edy yang menyebutkan bahwa dalam forum rapat kerja Kapolri tidak secara eksplisit menyatakan rekaman. ''Rekaman yang disampaikan adalah ada komunikasi. Itu saja. Silakan dicerna sendiri. Beliau menyampaikan tidak ada statemen rekaman,'' paparnya.
Komunikasi itu, kata dia, ditunjukkan dengan bukti CDR. Namun, kemudian hal itu diterjemahkan sebagai rekaman. Djoko membantah bahwa dirinya dalam posisi membela Polri. ''Saya tidak membela kepolisian dalam hal ini. Tolong ditempatkan dalam ring yang benar,'' ujarnya.
Djoko menerangkan, data komunikasi itu bisa dalam bermacam bentuk. Menurut dia, kasus rekaman Ade Rahardja dengan Ari Muladi harus menjadi bahan pembelajaran. ''Karena apa? Pikiran kita seperti waktu ada rekaman Anggodo,'' katanya.
Sementara itu, kabar yang beredar seputar pemanggilan Kapolri oleh Presiden SBY dibantah Djoko. Menurut dia, presiden tidak memiliki agenda pertemuan dengan Kapolri. Bahkan, kemarin Kapolri juga tidak tampak hadir saat acara penganugerahan tanda kehormatan.
Secara terpisah, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta keberadaan transkrip antara Ade dan Ari tidak perlu menjadi polemik. Yang harus dilakukan Polri saat ini ialah memberikan penjelasan sejelas-jelasnya kepada publik bahwa yang dimiliki Polri bukan rekaman. ''Ini kan menyangkut kredibilitas,'' kata Priyo di gedung DPR.
Polri, kata Priyo, perlu menjelaskan masalah itu untuk mengerem isu agar tidak berkembang liar. Tidak ada salahnya Polri terbuka. Jika memang CDR itu merupakan bukti penting seperti halnya rekaman, tugas Polri untuk memberikan penjelasan. ''Kalau memang datanya ada, segera tindak lanjuti. Jelaskan kapan, waktunya apa, dalam konteks apa. Itu lebih baik daripada tidak ada,'' ujarnya.
Anggota Komisi III Achmad Dimyati menegaskan, komisi III secepatnya akan mengundang Kapolri agar menjelaskan secara detail maksud pernyataannya. ''Apa rekaman CDR atau rekaman seperti (rekaman percakapan) Anggodo dengan Wisnu (mantan Jaksa Agung Muda Intelijen/JAM Intel Wisnu Subroto, Red) dan yang lain itu,'' kata politikus PPP itu.
Karena itu, lanjut Dimyati, Kapolri tidak bisa serta-merta divonis telah melakukan kebohongan publik. ''Kalau terbukti berbohong, komisi III pasti akan mengambil tindakan tegas,'' katanya tanpa merinci tindakan yang dimaksud. Dalam raker dengan Komisi III DPR beberapa waktu lalu, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri memang pernah mengatakan memiliki rekaman Ade-Ari.
Dimyati juga menyampaikan, sekalipun terbukti melakukan kebohongan publik, Kapolri tetap tidak bisa dijerat dengan delik pidana. Sebab, itu tidak disampaikan di atas sumpah. Paling maksimal hanya sampai sanksi moral. ''Kalau Kapolri melakukan kebohongan, jelas ini memalukan bagi diri dan keluarganya,'' tegas Dimyati.
Anggota DPD asal NTB Farouk Muhammad mengatakan, Kapolri memang harus dimintai pertanggungjawaban atas pernyataannya. Tapi, itu harus dilakukan secara hati-hati. Sebab, suasana kebatinan kepolisian saat itu ingin membuktikan pihaknya tidak bersalah dalam kasus cicak dan buaya. Apalagi, itu disampaikan pasca rekaman percakapan Anggodo dengan beberapa pihak diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi.
''Karena itu, rekaman (yang dikatakan Kapolri, Red) tersebut seolah-olah juga percakapan. Kalau memang Kapolri menyatakan rekaman itu adalah rekaman isi pembicaraan, itu termasuk kebohongan publik. Tapi, kalau cuma dikatakan rekaman, tidak bisa apa-apa,'' tegas mantan gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu.
Farouk juga menegaskan, kebohongan publik tidak ada ancaman pidana. Menurut dia, tidak ada sistem pidana yang menjadikan pernyataan pejabat sebagai alat bukti. Kecuali, Kapolri menyatakan dalam kapasitas sebagai saksi di depan pengadilan.
''Karena menjawab pertanyaan pers atau wakil rakyat di komisi III, ini menjadi persoalan publik, bukan juridis. (Sanksinya) hanya mosi tidak percaya atau anggaranmu (Polri, Red) dipotong,'' tegas Farouk.
Koordinator Indonesian Police Watch (IPC) Neta S. Pane mendorong Komisi III DPR memperdengarkan kembali rekaman raker dengan Kapolri. ''Biar masyarakat tahu,'' katanya. Namun, terlepas dari itu, Neta meyakini rekaman yang dimaksud Kapolri adalah rekaman pembicaraan. ''Jangan sampai komisi III terkecoh. Rekaman ya rekaman, CDR ya CDR. Jadi, rekaman itu pembicaraan. Jangan bodoh-bodohan nanti ya,'' ujarnya.
Menurut Neta, bila mendapatkan CDR, kepolisian pasti akan mengejar rekaman percakapannya. Apalagi, itu menyangkut kasus yang strategis, yakni dugaan kriminalisasi Bibit-Chandra, pimpinan KPK. Karena itu, Neta mendesak agar ditelusuri apakah ada unsur penghilangan barang bukti, yakni rekaman pembicaraan. (fal/bay/aga/pri/c4/agm)
Sumber: Jawa Pos, 14 Agustus 2010