Gunung Es Korupsi di DPR
”DPR yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi kok bisa disebut lembaga terkorup? Ini Ironis!”
Reaksi tersebut di atas dilontarkan dengan percaya diri oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono saat menolak hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang menyimpulkan bahwa DPR sebagai lembaga terkorup, Januari 2007.
Survei TII yang memotret persepsi publik tentang korupsi di lembaga-lembaga negara mendapat penolakan yang cukup kuat dari para anggota Dewan. Banyak anggota DPR, termasuk sang ketua, mengaku tersinggung atas hasil yang menyebutkan lembaga tempat mereka ”mengabdikan diri” sebagai lembaga yang paling banyak korupsinya.
Resistensi anggota DPR cukup kuat terhadap kritik-kritik keras yang dialamatkan kepada mereka. Beberapa bulan lalu, lagi-lagi DPR dibikin ”panas” oleh kritik pedas yang disuarakan kelompok musik Slank lewat lagu mereka yang berjudul Gosip Jalanan.
”Mau tau gak mafia di Senayan? Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD, ujung-ujungnya duit.” Petikan syair itulah yang membikin para wakil rakyat gerah. Bahkan, alih-alih mengintrospeksi diri, Badan Kehormatan DPR sempat berniat memperkarakan grup musik ini dan pencipta lagunya, meski kemudian dibatalkan.
Sah-sah saja kalau anggota DPR merasa gerah dan tersinggung dengan berbagai kritik tajam terhadap mereka. Para wakil rakyat itu merasa nama baik mereka tercemar oleh sejumlah kasus yang melibatkan kawan- kawan mereka di lembaga itu.
Barangkali memang tidak semua anggota DPR bermoral korup. Namun, berbagai skandal yang dibombardir lewat publikasi media itu menggiring persepsi buruk terhadap lembaga negara yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat itu.
Mereka yang merasa ”baik-baik saja” itu sering kali menampik persepsi buruk tentang DPR dengan argumen, skandal-skandal itu hanya dilakukan oleh oknum dari segelintir pemilik kursi di Senayan. Maka, penolakan atas generalisasi persepsi tak jarang dijadikan tameng sebagai upaya mempertahankan citra.
Resistensi terhadap upaya pembersihan lembaga legislatif dari korupsi memang sering dilakukan oleh DPR. Pada akhir tahun 2006, misalnya, Panitia Kerja DPR tentang Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah memprotes maraknya proses hukum yang dilakukan terhadap anggota DPRD yang tersangkut korupsi. Panja tersebut dalam rekomendasi yang disampaikan dalam rapat Badan Musyawarah DPR, Oktober 2006, menganggap upaya hukum tersebut sebagai kriminalisasi politik dan meminta Presiden merehabilitasi nama baik dan hak anggota DPRD yang diduga terlibat kasus korupsi.
Namun, resistensi DPR yang dibarengi dengan realitas semakin banyaknya anggota Dewan yang terseret kasus korupsi malah memperkuat persepsi buruk publik terhadap lembaga itu.
Kasus korupsi dalam lembaga negara ibarat fenomena gunung es. Publik meyakini kasus-kasus yang mengemuka hanya sebagian kecil saja, kasus-kasus yang tertutup dan terlindungi jauh lebih banyak. Sebanyak 56,7 persen responden jajak pendapat Kompas meragukan kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota Dewan akan dapat dituntaskan secara hukum.
Sejumlah skandal yang melibatkan anggota DPR yang terungkap ke ruang publik meningkatkan apatisme masyarakat terhadap mereka. Alih-alih memperbaiki kinerja dan memperjuangkan aspirasi konstituennya, banyak anggota Dewan yang justru memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi.
Sepanjang paruh pertama tahun ini, sedikitnya lima anggota DPR ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Saleh Djasit (Partai Golkar, daerah pemilihan Riau) ditahan KPK, Maret lalu, terkait kasus pengadaan alat pemadam kebakaran saat menjabat sebagai Gubernur Riau. Sebulan kemudian, Al Amin Nur Nasution (Partai Persatuan Pembangunan, DP Bengkulu) juga ditahan KPK atas kasus suap pengalihan fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan.
Seminggu setelah penahanan Al Amin, KPK menahan Hamka Yandhu (Partai Golkar, DP Sulawesi Selatan I) dan Anthoni Zeidra Abidin (Partai Golkar, DP Jambi). Keduanya ditahan atas kasus aliran dana Bank Indonesia. Sarjan Tahir (Partai Demokrat, DP Sumatera Selatan II) ditangkap Mei lalu terkait kasus alih fungsi hutan mangrove di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Penangkapan Bulyan Royan (Partai Bintang Reformasi, DP Riau), akhir Juni, menambah panjang daftar anggota DPR yang terseret korupsi. Kasus Bulyan Royan semakin menelanjangi DPR di tengah citranya yang terus menurun di mata publik.
Pengungkapan kasus yang kian memperburuk wajah DPR rupanya tak berhenti sampai di situ. Pada akhir Juli, 52 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 disebut oleh Hamka Yandhu telah menerima dana dari Bank Indonesia. Termasuk di dalamnya, terdapat nama Paskah Suzetta (kini Kepala Bappenas) dan MS Kaban (kini Menteri Kehutanan).
Kepercayaan masyarakat pun semakin luntur terhadap lembaga yang menjadi ujung tombak negara demokrasi ini. Publik semakin apatis.
Citra buruk DPR di mata publik terus meningkat selama empat tahun terakhir. Pada tahun 2005, sebanyak 58,8 persen responden menilai buruk citra DPR. Dalam jajak pendapat bulan April lalu, sekitar tujuh dari setiap sepuluh responden menyatakan citra DPR buruk dan dalam jajak pendapat kali ini, publik yang menilai buruk citra DPR meningkat lagi menjadi 81,3 persen responden.
Selain kasus korupsi, skandal perselingkuhan yang terekam dalam video yang berisi adegan syur anggota DPR pun memperburuk persepsi publik terhadap para anggota Dewan yang (seharusnya) terhormat itu. Sorotan publik tidak hanya pada soal kinerja, tetapi juga moralitas anggota Dewan.
”Memalukan! Bagaimana mungkin mereka (anggota DPR) mengontrol pemerintah jika mereka sendiri melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya mereka perangi,” kata Ita Luay (40), responden dari Surabaya.
Suara Ita mewakili 81,9 persen dari 812 responden lainnya yang menyatakan kecewa atas kinerja dan integritas moral anggota DPR. Anggota Dewan, dalam konsep demokrasi, merupakan representasi dari kedaulatan rakyat. Maka, di tangan merekalah suara rakyat, dalam hal ini suara konstituen yang memilih mereka, dipercayakan.
Sayangnya, sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat, langkah DPR justru makin jauh dari kepentingan rakyat. Apresiasi publik pun terus turun terhadap fungsi aspirasi DPR. Kalau pada September 2004 kepuasan masyarakat atas fungsi tersebut berada di kisaran 24,4 persen, kini tinggal separuhnya (13,1 persen).
Di seluruh bidang yang ditangani oleh komisi-komisi di DPR, ketidakpuasan juga terlihat jauh lebih menonjol daripada kepuasan.
Kontrol DPR atas kinerja pemerintah dalam menjaga stabilitas harga dan ketersediaan bahan kebutuhan pokok adalah yang paling mengecewakan. Sebanyak 87,4 persen responden menyatakan ketidakpuasannya.
Hal lain yang juga menuai tingginya ketidakpuasan adalah kontrol atas bidang kependudukan dan ketenagakerjaan, pengelolaan sumber daya energi dan sumber daya manusia, hukum dan hak asasi manusia, pembenahan aparatur negara, serta kontrol atas kebijakan pemerintah di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Jika dalam hampir semua lini kinerja anggota DPR mendapat penilaian negatif, siapa yang harus bertanggung jawab? Sulit menjawabnya. Yang jelas, rakyat memang harus ekstra hati-hati dalam memilih wakilnya. (Litbang Kompas)--Oleh SUWARDIMAN
Sumber: Kompas, 4 Agustus 2008