Gugat Presiden ke PTUN, Koalisi: Copot Patrialis!
Patrialis Akbar telah dilantik menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menggantikan Achmad Sodiki pada Senin, 13 Agustus 2013 lalu di Istana Negara. Pengangkatan Patrialis disesalkan masyarakat, termasuk para aktivis antikorupsi. Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK menyayangkan keputusan Presiden SBY yang dinilai menabrak Undang-undang—bahkan konstitusi.
Koalisi menggugat Presiden untuk membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pengangkatan Patrialis Akbar selaku Hakim Konstitusi. Koalisi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Senin, 12 Agustus lalu, tepat sehari sebelum pengangkatan Patrialis. Tindakan presiden mengangkat Patrialis jadi hakim MK dinilai telah melanggar UUD 1945 (konstitusi) dan UU MK, dan dengan demikian cacat hukum.
Pengangkatan Patrialis melanggar UUD 1945 dan UU MK
UU Mahkamah Konstitusi pasal 19 mengamanatkan pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Tujuannya, agar masyarakat bisa turut serta mengetahui proses yang berjalan, dan dapat berperan aktif memberi masukan atas calon yang diajukan baik oleh DPR, MA, maupun Presiden.
Pasal 20 ayat (2) UU MK juga menegaskan pemilihan hakim konstitusi wajib diselenggarakan secara objektif dan akuntabel. Di sini, profesionalitas, kredibilitas, dan kapabilitas para calon diuji. Pemilihan hakim konstitusi tidak boleh didasarkan pada unsur subjektivitas, dan keseluruhan prosesnya harus dipertanggungjawabkan.
“Proses seleksi hakim konstitusi memang harus ketat,” ujar Emerson Yuntho, peneliti ICW. “Pasal 15 UU MK menyatakan bahwa seorang hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, mampu berlaku adil, serta seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.”
MK berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Ini tanggung jawab besar sekali bagi para hakim konstitusi. Mereka harus mampu melindungi seluruh warga, bersikap imparsial, dan independen, serta negarawan. Emerson menyimpulkan, “Syarat kualitatif ini sebenarnya memberi pesan bahwa tidak semua orang bisa jadi hakim konstitusi.”
Oleh karena itu Presiden telah melanggar konstitusi, jika pengangkatan Patrialis Akbar Hakim MK tidak segera dibatalkan. “Presiden SBY harus mengoreksi pelanggaran serius terhadap UU dan konstitusi. Beliau harus membatalkan Keppres pengangkatan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi,” tegas Emerson.
Rekam jejak Patrialis tak elok
Apalagi, rekam jejak Patrialis juga tak harum. Saat menjabat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Patrialis yang berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN) dikenal kontroversial. Beberapa langkah Patrialis dianggap tidak mendukung pemberantasan korupsi. Di anraranya, “obral” remisi dan pembebasan bersyarat pada terpidana korupsi, pembangunan sel khusus koruptor di LP Cipinang, dan mendukung pemberian grasi pada Syaukani, mantan Bupati Kutai Kartanegara yang divonis bersalah dalam kasus korupsi. Patut diingat juga, pada era Patrialis terungkap skandal sel mewah milik Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu.
“Presiden juga harus membentuk Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi dan menjalankan proses seleksi secara transparan, partisipatif dan akuntabel,” usul Emerson. “Supaya seleksinya bisa menjaring calon-calon hakim konstitusi yang berintegritas dan berkepribadian tidak tercela, mampu berlaku adil, serta seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.”
“Saran kami, sebelum proses seleksi selesai, presiden wajib memperpanjang masa jabatan Achmad Sodiki selaku hakim konstitusi,” tukas Emerson.
Independensi MK sebagai penjaga konstitusi adalah tanggung jawab yang tidak main-main. Sungguh ironis jika pengangkatan hakim konstitusi malah ditempuh dengan jalur inkonstitusional, apalagi dengan rekam jejak yang meresahkan nasib Mahkamah Konstitusi, sang penjaga Undang-undang Dasar.
(Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK terdiri dari: YLBHI, LBH Jakarta, Indonesia Legal Roundtable, Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, ELSAM, Pilnet, dan Indonesia Corruption Watch)