Gelapnya Dana Kampanye
Pemilihan secara langsung, banyak disebut sejumlah kalangan, menjadi salah satu faktor yang membuat mahalnya biaya demokrasi di Indonesia. Namun, untuk mengetahui secara pasti jumlah biaya yang dibutuhkan dalam pemilihan langsung, bukan hal yang mudah. M Hernowo
Ini juga terjadi dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014 yang sedang berlangsung. Untuk menyebut jumlah dana yang kira-kira dibutuhkan dan telah dikeluarkan selama masa kampanye, tim kampanye dari setiap kandidat belum dapat menyebut secara pasti.
”Kami memakai konsultan untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran selama kampanye. Namun, masih sulit untuk memperkirakan berapa biaya kampanye kami,” kata Hasto Kristiyanto, anggota tim kampanye pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo.
Kesulitan ini muncul, lanjut Hasto, karena biaya kampanye pasangan bernomor urut satu ini ditanggung secara gotong royong. Saat Mega-Prabowo berkampanye ke daerah, biaya perjalanan ditanggung tim kampanye nasional.
Adapun kebutuhan pelaksanaan acara di daerah ditanggung tim kampanye di daerah itu meski akhirnya tetap dilaporkan kepada tim kampanye nasional.
Rp 100 miliar maksimal
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie memperkirakan, biaya kampanye pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono maksimal Rp 100 miliar. ”Kami berusaha efektif dan efisien,” kata dia.
Namun, Yuddy Chrisnandi dari tim kampanye pasangan Jusuf Kalla-Wiranto menegaskan, biaya kampanye setiap pasang capres-cawapres hingga pemungutan suara pada 8 Juli 2009 minimal Rp 125 miliar.
”Perhitungannya, untuk satu daerah tingkat II di Indonesia dibutuhkan Rp 100 juta. Jika sekarang ada hampir 500 daerah tingkat dua, dibutuhkan Rp 50 miliar. Untuk transportasi, seperti sewa pesawat selama 30 hari, butuh Rp 10 miliar. Jika setiap pasangan mencetak lima juta kaus dengan harga satu kaus Rp 10.000, dibutuhkan Rp 50 miliar. Untuk iklan di media, jika sehari Rp 500 juta, selama 30 hari dibutuhkan Rp 15 miliar,” papar Yudi.
Biaya minimal Rp 125 miliar itu belum termasuk kebutuhan seperti insentif para saksi di tempat pemungutan suara dan biaya sosialisasi yang sudah dilakukan para kandidat jauh sebelum masa kampanye dimulai.
Biaya yang ditanggung pasangan calon akan semakin besar jika pilpres berlangsung dua putaran dan mereka ikut di dalamnya.
Meski demikian, Yuddy mengakui, cukup sulit untuk menghitung secara pasti semua biaya yang dikeluarkan pasangan JK-Wiranto selama pilpres, antara lain karena pasangan ini juga banyak menerima sumbangan berupa fasilitas dan barang selama kampanye.
”Misalnya, saat kami berkampanye di Bandung, Jawa Barat, ternyata ada relawan yang menyediakan gedung hingga menyumbang atribut kampanye seperti kaus,” papar Yudi.
Hitung iklan
Cara paling mudah menghitung biaya kampanye setiap kandidat sebenarnya dengan menghitung jumlah iklan yang mereka lakukan di media massa, baik cetak, elektronik, maupun interaktif.
Namun, seperti disampaikan Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh dari Indonesia Corruption Watch, untuk mengetahui secara pasti belanja iklan di media ini juga bukan hal yang mudah.
Dalam pemilu legislatif lalu, ICW menemukan adanya selisih belanja iklan, antara yang dilaporkan partai politik ke Komisi Pemilihan Umum dengan data yang diperoleh dari media.
Selisih antara belanja kampanye secara faktual dan yang terlapor ini bahkan bisa mencapai ratusan miliar, seperti Partai Golongan Karya, yang menurut catatan ICW mencapai Rp 134,38 miliar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebesar Rp 95,63 miliar.
Dugaan ketidakberesan tentang dana kampanye ini juga terjadi dalam Pemilu Presiden 2004. Pada 4 Agustus 2004 Kompas memberitakan, Transparency International Indonesia dan ICW melaporkan temuannya kepada Panitia Pengawas Pemilihan Umum, soal penyumbang fiktif dana kampanye.
Dari investigasi lapangan TII dan ICW, terdapat setidaknya dua perusahaan dan seorang penyumbang individu pada pasangan Yudhoyono-Kalla yang tidak dikenal. Ditemukan juga lima orang dan lima perusahaan pada penyumbang pasangan Megawati-Hasyim yang terindikasi bermasalah.
Administrasi buruk
Sulitnya menghitung biaya kampanye dan adanya dugaan data fiktif ini terjadi, lanjut Fahmy, antara lain disebabkan oleh buruknya administrasi setiap tim kandidat. ”Keuangan tidak hanya dipegang satu pihak. Sementara pada saat yang sama, kegiatan yang dilakukan amat banyak dan beragam. Akibatnya, koordinasi menjadi amat sulit,” papar dia.
Selain itu, Fahmy menduga, juga ada kesengajaan di sejumlah kandidat untuk tak melaporkan semua dana kampanye yang mereka terima. Ini dilakukan, selain adanya kekhawatiran kampanyenya akan dituding terlalu mahal, juga untuk menghindari diketahuinya dana-dana bermasalah yang digunakan selama kampanye.
Mantan anggota Panwaslu 2004, Didik Supriyanto, menambahkan, kesulitan mengetahui dana kampanye yang sebenarnya dari setiap kandidat makin diperparah oleh sikap KPU yang belum menerbitkan aturan turunan tentang dana kampanye dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden saat kampanye sudah dimulai. Padahal, sebenarnya, aturan KPU ini dapat mengisi celah aturan yang tak sempurna pada UU.
Akibatnya, Didik meyakini, jumlah dana kampanye yang ”diakali agar sesuai dengan aturan kampanye” akan semakin besar pada Pemilu 2009. Itu karena sumbangan dana kampanye semakin besar jumlahnya. Tim yang berniat mengakali laporan dana kampanye akan lebih mudah mencari celah karena sudah mahir pada tahun 2004 silam.
Pada saat yang sama, aturan dana kampanye tahun 2009 tak lebih baik dibandingkan dengan tahun 2004. Audit oleh akuntan publik yang dilakukan oleh KPU pun hanya menjadi semacam basa-basi.
Aturan lemah
Kelemahan aturan tentang dana kampanye ini, misalnya terlihat dalam Pasal 222 UU No 42/2008. Pasal itu menyebutkan, pasangan calon yang menerima sumbangan dari pihak asing atau yang tak jelas identitasnya dan tidak melaporkan kepada KPU dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 48 bulan dan denda sebanyak 3 kali jumlah sumbangan yang diterima.
Aturan itu sangat longgar karena dapat diartikan, apabila dana demikian sudah dilaporkan ke KPU dan disetorkan ke kas negara, urusan beres sudah.
Dengan kondisi seperti ini, menurut Didik, jangan terlalu berharap akan ada perbaikan pada sistem pelaporan dana kampanye.
(Vincentia Hanni/ Dewi Indriastuti)
Sumber: Kompas, 16 Juni 2009