Gayus Lumbuun: MA Harus Keluarkan PERMA Sikapi Polemik Praperadilan
Hakim Agung Gayus Lumbuun menegaskan, Mahkamah Agung harus menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dalam menyelesaikan polemik putusan hakim praperadilan dalam memutus perkara. Hal tersebut juga menyikapi Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) No 21/PUU/XII/2014 yang manambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai obyek praperadilan.
PERMA dapat dibuat di rapat pleno hakim agung atas inisiatif pimpinan MA. "PERMA adalah peraturan yang dibuat MA dan pasti diikuti oleh hakim. Kita harapkan agar Pimpinan MA segera merespon gejolak ini," jelasnya dalam diskusi 'Polemik Praperadilan dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi' di Bakoel Koffe, Jakarta, Rabu (17/06/2015).
Dalam hal ini, Gayus menawarkan tiga opsi kebijakan dalam menanggapi polemik praperadilan saat ini. Dirinya mencontohkan putusan praperadilan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam mengabulkan permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan. Pertama, dalam hal ini apakah putusan hakim Sarpin bisa diterima MA? Jika diterima, MA harus menerbitkan sikap resmi bahwa sikap hakim bisa diterapkan oleh hakim lain, dengan memperluas kewenangan praperadilan sampai masuk pokok perkara.
Dirinya tidak menyebutkan bahwa putusan hakim Sarpin benar atau salah, namun Sarpin berkaca pada doktrin hukum abeascorps (menjadikan hak sipil tidak diberlakukan semena-mena) dan KPK tidak dapat menghadirkan dua alat bukti maka Sarpin mengabulkan permohonan Budi Gunawan.
Saya yakin, bukanya KPK tidak punya alat bukti, namun saat itu KPK belum mempersiapkan karena dipikir tidak akan masuk pokok perkara praperadilan," katanya.
Kedua, MA dapat mengatur agar praperadilan tetap dijalankan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang ditegaskan kembali pada Pasal 77 hingga Pasal 83 KUHAP. Disana praperadilan hanya berwenang memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya penangkapan dan penahanan serta sah tidaknya penghentian penuntutan.
"Apa MA mau mengatur praperadilan sesuai dengan KUHAP, sambil menunggu revisi KUHAP yang baru mulai 2016 dan memakan waktu hingga dua tahun," kata Lumbuun.
Ketiga, apakah MA memberikan kebebasan kepada hakim praperadilan untuk memilih kewenangannya sebagai hakim untuk memutus perkara. Dalam hal ini berpegang pada KUHAP atau mengikuti apa yang telah diputuskan hakim Sarpin. Karenanya, dalam hal ini, pilihan ini didasarkan pada Pasal 3 UU No 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman dimana disebutkan hakim diberi kebebasan dan tidak boleh diintervensi siapa pun.
"Dalam putusan hakim memiliki standar dan kebebasan hakim. Maka tergantung MA memberikan petunjuk bagi peradilan di bawahnya," tegasnya.