Extra Ordinary Punishment untuk Ferry Wibisono
Sebagai sebuah lembaga yang ekstra ( extra ordinary institution ), KPK lahir dengan sebuah semangat yang amar besar untuk memberantas wabah korupsi di negeri ini. Semangat KPK dan masyarakatpun bersatu padu sehingga ketika lembaga ini ‘dilukai’ maka masyarakat pun menjadi berang. Begitu banyak perlawanan dari koruptor untuk merontokkan keberadaann KPK (corruptor fight back) baik sejak awal didirikan hingga saat ini. Kriminalisasi pimpinan KPK merupakan salah satu contoh konkrit dari perlawanan tersebut. Akan tetapi, ada sebenarnya bentuk perlwanan tidak lansung yang potensi bahayanya justru lebih besar untuk melemahkan lembaga ini. Kasus Direktur Penuntutan KPK, Ferry Wibisono yang memberikan hak previlege kepada Wisnu Subroto, mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung. Wisnu diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Saksi dalam kasus dugaan percobaan korupsi, melakukan permufakatan, dan menghalangi proses pemeriksaan KPK dengan tersangka Anggodo Widjojo.
Kejadian ini berawal dari temuan tidak sengaja Anggota Badan Pekerja ICW, Febri Diansyah dan dua pelapor kasus korupsi Kehutanan bertemu dengan Ferry Wibisono dan Wisnu Subroto di lift setelah audiensi tentang laporan kasus korupsi kehutanan dengan Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIMP) dan tiga pegawai KPK lainnya di Lantai 6, Gedung KPK. Saat hendak memasuki lift untuk menuju lantai 1,Pada saat yang bersamaan ternyata Wisnu Subroto dan Ferry Wibisono ternyata bersama-sama dalam lift karena baru saja selesai menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Selanjutnya mereka berdua menuju lantai dasar dan Wisnu keluar gedung KPK melalui pintu khusus. Perlakuan khusus ini harus dimaknai secara serius. Paling tidak ada dua pendekatan yang bisa kita pakai untuk melihat patut atau tidaknya perlakuan khusus yang dilakukan Ferry terhadap Wisnu.
Pedekatan pertama dari sudut normatif. Tindakan tersebut patut diduga melanggar Kode Etik Pegawai KPK sebagaimana diatur dalam Peraturan KPK Nomor: 05 P.KPK Tahun 2006 tentang Kode Etik Pegawai KPK. Pasal yang dilanggar yakni Pasal 7 ayat (2) huruf c, d dan h.
Pasal 7 ayat (2) huruf c
Pegawai Komisi dilarang bersikap diskriminatif melalui tindakan atau pernyataan terhadap rekan kerja, tamu, bawahan ataupun atasan.
Tindakan mengantarkan seorang saksi yang diperiksa secara khusus, dengan perlakuan yang berbeda dengan saksi atau tamu lainnya dapat dikategorikan sebagai pemberian previlage, yang berakibat adanya diskriminasi terhadap saksi atau tersangka lainnya.
2. Pasal 7 ayat (2) huruf d
Pegawai Komisi dilarang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan terdakwa, tersangka, dan calon tersangka atau keluarganya atau pihak lain yang terkait, yang penanganan kasusnya sedang diproses oleh KPK, kecuali pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah jabatan.
Semua pegawai KPK dilarang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak yang terkait dengan penanganan kasus korupsi yang ditangani KPK. Sebagai Direktur Penuntutan tentunya dapat diduga tidak dalam menjalankan tugas atau penuntutan jabatan, karena proses pemeriksaan dugaan korupasi dengan tersangka Anggodo Widjojo sekarang sedang dalam tahap penyidikan dan belum dilimpahkan ke tahap penuntutan. Padahal wilayah kewenangan Direktur Penuntutan adalah di tingkat penuntutan.
Berdasarkan keterangan Pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah, seperti dikutip dari beberapa media bahwa tidak ada perintah dari Pimpinan KPK terhadap Ferry Wibisono untuk mengantarkan atau bertemu dengan Wisnu Subroto.
3. Pasal 7 ayat (2) huruf h
Pegawai Komisi dilarang melakukan kegiatan lainnya dengan pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung yang patut diduga menimbulkan benturan kepentingan dalam menjalankan tugas, kewenangan dan posisi sebagai pegawai komisi.
Dalam pendekatan kedua, secara sosiologis, latar belakang dari Ferry Wibisono dan Wisnu Subroto yang berasal dari Kejaksaan Agung membuat masyarakat patut menduga ada kemungkinan benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menjalankan tugas dan kewenangan. Mengingat, kasus dugaan korupsi yang melibatkan Anggodo akan sampai ke tingkat penuntutan, dan Fery Wibisono selaku Direktur Penuntutan KPK adalah orang yang sangat berpengaruh di bagian penuntutan tersebut.
Kasus Ferry Wibisono ini kemungkinan hanyalah fenomena puncak gunung es. Patut diduga ada tindakan sama yang dulu tidak terungkap pernah dilakukan oleh pegawai KPK. Tindakan ini tentu saja akan sangat menghambat dan menjadi ganjalan bagi KPK untuk membersihkan Kepolisian dan Kejaksaan dari aroma Mafia Hukum. Apalagi, secara konseptual seharusnya KPK memang memprioritaskan pembersihan insitusi penegak hukum. Tentu saja hal ini tidak mungkin dilakukan jika masih ada hambatan internal di institusi KPK itu sendiri. Dengan terungkapnya kasus ini, maka sudah sangat wajar momentum ini bisa digunakan untuk kembali mendorong KPK mempunyai penyidik dan penuntut independen. Dengan tujuan, KPK tidak tersandera dengan pegawai yang sesungguhnya punya "loyalitas ganda" dan potensi conflict of interest.
Atas permasalahan ini dan sebagai wujud kecintaan terhadap KPK, maka pada hari Senin, 8 Februari 2010, Pukul. 14.10 WIB, Gerakan Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (CICAK) melaporkan dugaan pelanggaran kode etik pegawai KPK yang diduga dilakukan oleh Ferry Wibisono. Gerakan ini terdiri dari 9 elemen yakni ICW, KP2KKN, PSHK, KRHN , ILRC, TII, Mappi FHUI, MTI dan Pukat Korupsi UGM.
Laporan ini lansung diterima oleh , Direktur Pengawasan Internal KPK, Cesna F, Anwar Zikron Kurniawan (Bagian Pengawasan Internal) dan Yuli Kristiono (Bagian Pengaduan Masyarakat KPK).
Dalam laporannya CICAK meminta KPK untuk memeriksa Ferry Wibisono. Jika dalam pemeriksaan yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran kode etik, maka tidak ada toleransi sedikitpun. Yang bersangkutan layak untuk dikembalikan kepada institusi asalnya Kejaksaan Agung. [Donal Fariz]