Eva Joly: Masih Ada Polisi, Pengacara, dan Hakim yang Baik [01/06/04]
Eva Joly, 61 tahun, sebuah nama harum di antara para aktivis antikorupsi. Pembawaannya tenang, tapi ia sosok yang telah melalui ratusan pertarungan melawan korupsi.
Kisah heroik Eva Joly bermula saat ia terpilih menjadi hakim di Tribunal de Grande Instance, Paris, pada 1983. Eva, ibu dua orang anak, mulai berhadapan dengan pelbagai kasus korupsi yang menggerogoti Prancis. Hidupnya berubah drastis. Ancaman demi ancaman menghampiri Eva Joly. Meski bertaruh nyawa, Eva pantang surut. Dalam kasus megakorupsi di perusahaan Elf, misalnya, Eva berani menangkap anggota kabinet yang masih aktif—Menteri Bernard Tapie. Eva juga menangkap bekas menteri luar negeri Roland Dumas. Walhasil, ia telah menjerat sekitar 100 orang, termasuk bekas perdana menteri Alain Juppe, yang divonis 10 tahun absen dari dunia politik.
Tak mengherankan, berkat dedikasi dan keberaniannya, lembaga nirlaba Transparansi Internasional menjadikan Eva Joly sebagai pendekar antikorupsi. Pada tahun 2001 Eva mendapat Integrity Award dari Transparansi Internasional. Sejak itu Eva laris manis menjadi pembicara dalam pelbagai pertemuan internasional yang mengupas persoalan korupsi.
Dan Indonesia, salah satu juara bertahan negara terkorup di dunia, menyambutnya bulan lalu. Dengan sepuluh orang baik dan tidak korup, katanya, Indonesia bisa mengatasi.... Pernyataan yang mendorong semangat. Bagaimana kisah perjalanan hidup Eva Joly? Mengapa ia bertarung melawan para koruptor kakap? Apa tanggapannya tentang korupsi di Indonesia? Wartawan Tempo News Room Faisal Assegaf mewawancarainya di lobi Hotel Le Meridien, Jakarta.
Berikut kutipannya:
Mengapa pemberantasan korupsi kerap membentur dinding?
Korupsi sangat sulit diberantas karena ada persoalan dalam penegakan hukum. Yang sering terjadi, seseorang yang memiliki kekuasaan seolah-olah punya kekebalan hukum. Para pejabat menyalahgunakan kekuasaan dengan sembunyi-sembunyi. Ini persoalan mendasar. Untuk melawannya, sebagai seorang hakim saya menggunakan profesionalitas saya. Saya yakin, bila kita memiliki kemauan untuk menyelesaikan masalah korupsi, tentu akan ada jalan keluar. Untungnya, masyarakat internasional telah melakukan banyak hal untuk menumpas kejahatan korupsi. Saat ini kita sudah memiliki suatu instrumen hukum yang baru. Meski belum dilaksanakan di setiap negara, itu merupakan suatu kemajuan. Ini sangat penting untuk dilakukan karena pemberantasan korupsi sangat terkait dengan masalah pembangunan dan kemiskinan.
Tapi mengapa di negara maju seperti Prancis, korupsi tetap jadi persoalan serius?
Ya, ini memang tetap menjadi persoalan yang sangat serius. Korupsi memang tak hanya menjangkiti negara berkembang, tapi juga terjadi di negara Barat yang maju. Tak hanya terjadi di Prancis, korupsi juga melanda Italia, Spanyol, dan lain-lain.
Apa bedanya dengan pemberantasan korupsi di negara berkembang?
Sistem pemerintahan dan hukum di negara berkembang masih dalam keadaan lemah. Gaji para hakim tak cukup tinggi, bahkan sering tak cukup untuk membiayai hidup sehari-hari. Hal ini sering menjadi pemicu merajalelanya budaya korupsi di negara berkembang. Akibatnya, banyak warga negara yang menjauhkan diri dari sistem hukum. Mereka menganggap hukum sebagai barang yang sangat mahal dan tak bisa diandalkan. Persoalan ini menjadi bahasan utama untuk menciptakan sistem hukum yang bebas korupsi. Soalnya, tanpa peradilan yang bersih, pemberantasan korupsi akan sia-sia. Tidak akan berjalan. Demokrasi pun akan mandek karena rakyat tak akan mendapat keadilan.
Indonesia termasuk negeri terkorup di dunia. Bagaimana pandangan Anda tentang pemberantasan korupsi di Indonesia?
Saat ini ada pekerjaan yang sangat penting yang dilakukan Indonesia. Saya sangat terkesan dengan rincian program dan rencana induk pemberantasan korupsi. Banyak gagasan dan teknik yang sangat realistis untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia. Memang, masih banyak hal yang harus dilakukan. Indonesia masih belum memiliki cara penyelesaian korupsi secara tuntas.
Apakah lembaga pemberantas korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, akan efektif?
Indonesia memang telah mencoba membuat instrumen baru. Sekarang Indonesia memiliki komisi antikorupsi, pengadilan antikorupsi, dan peta jalan reformasi pemerintahan. Semua langkah tersebut sangat mengesankan. Norwegia sangat gembira dapat mengadakan dialog dalam proses ini.
Banyak kalangan yang skeptis terhadap keseriusan lembaga-lembaga tersebut. Bagaimana?
Indonesia baru saja memulainya, jadi jangan merasa pesimistis dulu. Harus ada kesadaran rakyat bahwa hukum bukan sekadar persoalan korporasi. Hukum bukan hanya dibuat untuk para hakim, melainkan untuk rakyat. Rakyat Indonesia harus melakukan sesuatu. Untuk itu, kita harus memiliki cara yang bagus dalam merekrut hakim baru. Harus ada perbaikan sistem rekrutmen hakim di Indonesia agar memperoleh orang terbaik dan jujur.
Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Untuk memberantas korupsi di Indonesia, dibutuhkan sistem yang lebih transparan. Keterbukaan tersebut menyangkut pelbagai hal, seperti pembahasan korupsi di masyarakat dan penyebarluasan putusan soal korupsi kepada masyarakat. Hal ini sangat penting agar rakyat dapat mengetahui apa yang terjadi. Selain itu, Indonesia juga membutuhkan sebuah lembaga tempat rakyat dapat memprotes para hakim dan sistem peradilan. Jadi, Indonesia harus membuat sistem hukum menjadi lebih terbuka. Itulah kuncinya. Soalnya, sistem hukum tidak akan dapat bekerja untuk dirinya sendiri. Berdasarkan pengalaman kami di Norwegia, dibutuhkan waktu yang panjang untuk mewujudkannya. Perlu dana yang besar untuk membuat lembaga-lembaga hukum tersebut berwibawa dan berjalan dengan baik.
Persoalan korupsi di Indonesia sudah sangat mengakar. Dari mana kita harus memulai?
Korupsi di Indonesia dapat mulai diatasi dari dalam. Saya yakin masih ada dan selalu ada polisi, pengacara, dan hakim yang baik. Tentu saja upaya ini harus melibatkan kelompok-kelompok masyarakat—melalui pemantau korupsi. Untuk itu, keterbukaan menjadi kata kunci yang sangat penting.
Pesimisme terhadap pemberantasan korupsi sudah berlangsung lama di Indonesia.
Yang pasti, Indonesia memang harus memulainya. Rakyat Indonesia harus melihat masalah ini dengan perspektif yang utuh. Saya sangat terkesan dengan rencana kerja Mahkamah Agung yang sangat bagus. Dalam master plan pemberantasan korupsi MA, sudah ada program yang baik. Mereka sangat realistis dan mereka tidak berusaha menyembunyikan masalah penting ini. Ini merupakan langkah pertama yang menggembirakan. Bangsa Indonesia tidak perlu merasa kehilangan harapan. Selain itu, Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional. Masyarakat internasional telah menandatangani instrumen penting, seperti konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pemberantasan korupsi.
Tapi banyak kasus hukum di MA, seperti kasus Akbar Tandjung, yang mengecewakan rakyat. Apa yang salah dengan para hakim di Indonesia?
Memang, sebagai titik awal kita harus mampu menuntut para hakim dan menghukum orang yang terlibat dalam korupsi tingkat tinggi. Bila hal ini bisa dilakukan, akan memunculkan suatu perubahan yang sangat penting. Dalam rangka itu, mungkin Indonesia dapat berharap pada Komisi Anti-Korupsi. Selain itu, Indonesia juga perlu meningkatkan kesadaran di semua tingkatan—mulai dari sekolah hukum. Kita juga perlu menyeragamkan (pandangan) asosiasi pengacara agar lebih tertarik menjadi pengacara masalah korupsi.
Apakah Anda melihat ada kemauan politik dari pemerintah Indonesia untuk memerangi korupsi?
Saya pikir dialog ini merupakan tanda adanya kemauan politik dari pemerintah. Kita harus yakin dan mempertahankan usaha ini. Jika banyak hakim yang korup, tak ada sistem hukum yang baik, kita tidak bisa memajukan demokrasi. Akibatnya, pembangunan akan berjalan lambat. Buntutnya, investasi asing menjadi turun karena para investor tak yakin mereka dapat mengandalkan sistem hukum. Ini merupakan persoalan yang sangat mendasar.
Agar korupsi teratasi, siapa calon presiden yang paling kapabel?
Saya tidak mau berkomentar. Rakyat Indonesia sendiri yang tahu akan hal ini.
Soal figur presiden akan jadi persoalan sentral. Benarkah aksioma power tends to corrupt?
Sejarah hubungan kekuasaan dan korupsi sangat panjang. Ada banyak pemimpin yang mencuci uang mereka dan memperoleh cara yang baru (untuk korupsi). Bila menyangkut kekuasaan, kami mendapat banyak kesulitan dalam melakukan investigasi mengenai soal korupsi. Apalagi untuk membawa kasus-kasus tersebut ke pengadilan. Nah, salah satu bentuk penyelesaiannya adalah melalui Financial Action Task Force (FATF) yang dibentuk negara-negara G-8 pada 1989. Lembaga ini bertugas mengeluarkan rekomendasi kepada bank, lembaga keuangan, dan sejumlah lembaga lainnya. Ini berhasil menyelesaikan sejumlah kasus korupsi yang besar. Salah satu bentuk rekomendasi penting adalah pelarangan memiliki rekening yang berisi banyak uang bagi penyelenggara negara. Kalaupun mereka memiliki rekening tersebut, harus ada penjelasan tentang asal-usul uangnya. Jika aturan ini benar-benar diterapkan, di Indonesia tidak akan ada kasus seperti yang terjadi pada bekas presiden Soeharto. Juga tak ada korupsi oleh pejabat tinggi Indonesia.
Apakah tekanan masyarakat internasional akan berpengaruh dalam memerangi korupsi di Indonesia?
Kita hidup bersama dalam dunia yang sudah mengalami globalisasi. Sama halnya dengan sebuah rantai, kita tidak bisa menjadi kuat di atas kelemahan orang lain. Jadi, masalah korupsi merupakan kepentingan kita semua. Semuanya berhubungan. Jika ingin memerangi pendanaan teroris, kita harus memerangi pula pencucian uang dan membutuhkan kerja sama antarbank dengan sistem hukum. Masyarakat internasional sangat berharap dan menunggu kemajuan yang dicapai Indonesia.
Menurut Anda, apa kasus korupsi yang paling fenomenal di Indonesia?
Sangat sulit memutuskan mana yang paling penting. Indonesia dapat mulai mencoba menjalankan sistem hukum yang baik dan bebas dari korupsi. Ini syarat mutlak agar kita dapat memulai memerangi korupsi di masyarakat. Ini merupakan hal yang sulit, bahkan di negara demokratis seperti Prancis dan Italia. Makanya perjuangan mengatasi korupsi sangat kompleks dan rumit.
Tapi, dengan sepuluh orang baik dan tidak korup, Indonesia bisa melakukan hal ini.
Anda dikenal sebagai ikon pemberantas korupsi. Meski sangat berisiko, mengapa Anda tertarik memberantas korupsi?
Telah lama saya terbiasa melakukan investigasi masalah korupsi di Prancis. Saya mengawalinya dengan bekerja pada bidang kejahatan ekonomi Kementerian Kehakiman pada 1993. Selama kurun waktu sepuluh tahun saya sangat menaruh perhatian terhadap kasus korupsi papan atas di Prancis. Saya telah menemukan bahwa korupsi merupakan persoalan yang serius di dunia ini.
Anda mendapat penghargaan dari Transparansi Internasional. Apa kasus yang sangat sulit bagi Anda?
Kasus korupsi di perusahaan minyak Prancis Elf. Itu adalah perusahaan milik negara. Saya melakukan investigasi selama delapan tahun. Mulai tahun 1994 sampai tahun 2002. Korupsi ini, selain melibatkan petinggi perusahaan, juga menyangkut para politisi. Hasilnya, Direktur Eksekutif Elf ditangkap di Filipina. Sebagian besar pelaku penting yang terlibat dalam kasus korupsi senilai US$ 500 juta itu dijatuhi hukuman yang sangat berat. Keberhasilan ini sangat menyenangkan.
----------------------
Eva Joly
Tempat tanggal Lahir: Norwegia, 1943
Pendidikan: kelas malam sekolah hukum di Prancis (1965)
Karier:
Pengawas hak pasien rumah sakit jiwa di Prancis (1973)
Kementerian Kehakiman Prancis (1981)
Hakim investigator di Tribunal de Grande Instance, Paris (1983-2002)
Penasihat khusus soal korupsi di Kementerian Kehakiman Norwegia (2002-2004)
Kasus Penting:
Selama bekerja di Tribunal de Grande Instance, Eva Joly telah menangani sekitar 200 kasus korupsi. Beberapa yang fenomenal antara lain: kasus korupsi dan mismanajemen senilai miliaran dolar di Credit Lyonnais dan perusahaan minyak Elf. Keduanya merupakan BUMN di Prancis.
Penghargaan:
Integrity Award dari Organisasi
Transparansi Internasional (2001)
Sumber: Rubrik Wawancara Majalah Tempo, No. 14/XXXIII/31 Mei - 06 Juni 2004