Empat Menteri Orde Baru Dipanggil Paksa
KEJAKSAAN Tinggi (Kejati) DKI Jakarta mengancam untuk memanggil paksa empat menteri Orde Baru (Orba) terkait kasus tukar guling atau ruislaag kampus Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) yang sekarang bernama Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Keempat menteri Orba tersebut adalah Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Abdul Latief, serta tiga Menteri Perhubungan Azwar Anas, Haryanto Dhanutirto, dan Agum Gumelar.
"Mereka akan dipanggil paksa pekan depan (pekan ini) karena sudah dua kali mangkir dari panggilan," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta Hidayatullah di Jakarta, Jumat (19/6). Aspidsus menyatakan, mantan pejabat tinggi Orba itu belum menjadi tersangka.
"Namun, sesuai UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyidik berhak memanggilnya," kata dia. Ketika kasus terjadi, Abdul Latief belum menjabat menteri. Latif merupakan pihak yang mengajukan permohonan ruislaag. Pengajuan proposal menggunakan PT Pasaraya Toser Jaya. Di dalam perjalanannya proses ruislaag, Latif membentuk perusahaan bernama MDC (Mandiri Dipta Cipta).
Proses ruislaag berlangsung sejak 1992 dan terkatung-katung hingga 10 tahun kemudian. Lahan AIP yang berada di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Utara, diganti dengan tanah yang berada di kawasan Marunda, Jakarta Utara. Haryanto Dhanutirto yang menjabat Menteri Perhubungan saat itu menyetujui MDC sebagai pihak yang mendapatkan ruislaag dengan nilai aset AIP Rp126 miliar.[by : Abdul Razak]
"Artinya, pihak MDC berkewajiban mengganti aset AIP seluas tujuh hektare yang sekarang menjadi Mangga Dua Town Square," kata Hidayatullah. Padahal, Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan (Menku) Nomor 350 Tahun 1994 menyatakan, untuk melakukan ruislaag aset negara, harus dilakukan tender diikuti lima peserta.
"Ketentuan itu diabaikan," kata Aspidsus. Tanah bekas kompleks AIP di Gunung Sahari yang pada 1995 harganya Rp5 juta per meter persegi, dilepas ke PT MDC hanya dengan harga Rp1,25 juta per meter persegi. Sedangkan harga tanah di Marunda itu sesuai NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) sebesar Rp40 ribu/meter persegi. Untuk di Gunung Sahari mereka melakukan mark down, sedangkan di Marunda me-mark up. Nilai aset di Gunung Sahari itu sebesar Rp126 miliar.
Sumber: Jurnal Nasional, 22 Juni 2009