Emilio Camus, BPK, dan Intosai
Dalam wawancara imajiner saya, beberapa hari, lalu almarhum Emilio F Camus menyambut baik pergantian kepemimpinan di tubuh Badan Pemeriksa Keuangan. Sejak April 2017, estafet kepemimpinan di BPK beralih dari Harry Azhar Azis ke Moermahadi Soerja Djanegara.
Menurut Emilio F Camus (EFC), ketua BPK memang harus segera diganti karena Harry Azhar sudah jadi beban (liability) bagi organisasi. Selain indepedensinya diragukan karena ia juga seorang politisi, keberadaan namanya dalam Dokumen Panama telah merendahkan kepercayaan publik pada profesionalisme dan integritas BPK.
Moermahadi Soerja Djanegara bukan politisi dan tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun sehingga potensial menyumbang pada independensi kepemimpinan dalam BPK. Independensi ketua BPK merupakan salah satu dari delapan pilar independensi BPK.
Selain mengapresiasi suksesi kepemimpinan di BPK, EFC juga menyayangkan kecilnya perhatian publik pada perekrutan dan pemilihan pimpinan BPK. Padahal, ia sama pentingnya dengan perekrutan komisioner KPK. Siapa EFC sehingga perlu saya mintai pendapatnya tentang suksesi kepemimpinan di BPK?
Menggagas”Intosai”
Mendiang EFC lahir di Havana, Kuba, 7 Juni 1898. Ia seorang visioner yang punya mimpi besar tentang bagaimana seharusnya BPK ada dan bekerja. Ia ingin membangun tradisi audit eksternal keuangan pemerintah yang baik dan ajek.
Ada tiga hal penting yang harus dipunyai kalau kita mau mengelola sumber daya (dana) publik secara optimal, tanpa kebocoran dan pencurian (korupsi). Pertama, BPK harus profesional, berintegritas, independen, dan netral secara politik. Kedua, auditornya, selain profesional dan beritegritas, juga harus independen dari pengaruh politik. Ketiga, ada mekanisme pertukaran pengalaman dan pengetahuan antar-BPK sedunia sehingga teori dan praksis audit keuangan pemerintah berkembang terus.
Dua komponen pertama itu menjadi kode etik BPK sedunia: ”It is important to maintain both the actual and perceived political neutrality of the Supreme Audit Institutions. Therefore, it is important that auditors maintain their independence from political influence in order to discharge their audit responsibilities in an impartial way”.
Komponen ketiga dari mimpinya itulah yang kemudian melahirkanThe International Organization of Supreme Audit Institutions (Intosai). Pada 1953, sebagai ketua BPK-nya Kuba, EFC menggagas dan menyelenggarakan pertemuan BPK sedunia di Havana. Pertemuan dihadiri 34 BPK dari sejumlah negara. BPK kita, yang dibentuk berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah No 11/OEM tanggal 28 Desember 1946, belum bisa hadir dalam pertemuan itu. Sebab, saat itu negara kita masih sibuk mengurus politik dan kedaulatan. Pada pertemuan ini, 34 BPK yang hadir sepakat membentuk Intosai. Intosai didesain sebagai perkumpulan BPK sedunia yang bebas, mandiri, dan nonpolitik.
Intosai memberikan layanan pada anggotanya supaya fungsi BPK benar dan ajek. Layanan itu antara lain mengembangkan transfer pengetahuan tentang audit antar-anggotanya, membangun norma, etik, prinsip, dan standar auditing, serta meningkatkan kapasitas profesionalisme. Motonya ”experiential mutual omnibus prodest”, ingin memastikan bahwa teori dan praksis audit pemerintah terus berkembang. BPK kita baru bergabung dengan Intosai—setelah mendapat dukungan dari Badan Pelaksana Intosai—pada Kongres Intosai keenam di Tokyo, Jepang, pada22 Mei 1968.
Sekarang ini, tantangan besar bagi Moermahadi Soerja Djanegara adalah bagaimana menegakkan pilar-pilar independensi BPK: status dan kerangka hukum, sumber daya (keuangan dan manusia), kepemimpinan di BPK, operasional, akses pada informasi, pelaporan hasil audit, isi dan ketetapan waktu laporan audit, dan efektivitas mekanisme tindak lanjut. Penegakan pilar-pilar independensi tersebut akan memengaruhi risiko korupsi dalam tubuh BPK.
Status dan kerangka hukum BPK kita sudah jelas diatur dalam konstitusi (UUD 1945). Secara normatif disebutkan, BPK adalah lembaga yang mandiri dan independen. Dalam perjalanannya, kemandirian dan independensi BPK bergerak dari satu pendulum berat ke eksekutif di zaman pemerintahan Orde Baru danberat ke parlemen sekarang ini di zaman reformasi.
Ubah pola perekrutan
Memang bukan tanggung jawab Moermahadi Soerja Djanegara sendirian mengubah gerakan pendulum ini supaya ke depan lebih seimbang di antara eksekutif dan legislatif. Akan tetapi, Moermahadi Soerja Djanegara bisa mengambil prakarsa untuk mengartikulasikan kebutuhan ini baik kepada parlemen maupun pemerintah. Dengan mengubah pola perekrutan anggota BPK sehingga seperti pola perekrutan komisioner KPK sebenarnya bisa menggeser pendulum itu sehingga berada di tengah-tengah antara pemerintah dan KPK.
Dari segi sumber daya manusia, BPK menghadapi persoalan kurangnya tenaga auditor, rendahnya proporsi tenaga auditor dan non-auditor. Pemekaran daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memperumit masalah ini. Belum lagi kita bicara tentang profesionalisme dan integritas auditor. Munculnya praktik korupsi audit seperti tercermin dari beberapa kasus jual-beli opini mencerminkan adanya problem integritas auditor.
Praktik jual-beli opini juga ditemukan dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik. Auditor KPK ditengarai menerima suap dari dua tersangka, Irman dan Sugiharto, senilai Rp 80 juta. Penyuapan ini memengaruhi BPK dalam memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap pengelolaan keuangan Ditjen Dukcapil pada 2010.
Cukup mengherankan, penilaian sesama BPKyang dilakukan BPK Belanda (2009) dan BPK Polandia (2014)—dalam bingkai kerja sama yang dipayungi Intosai—tidak melihat adanya praktik jual-beli opini ini. Jangan dikira hanya warga, aktivis, jurnalis atau peneliti yang kesulitan mengakses informasi yang dibutuhkan dalam kerja-kerja advokasi, jurnalis dan risetnya, BPK pun dalam kerja-kerja auditingnya dihadapkan pada persoalan yang sama. Hasil kajian sesama BPK yang dilakukan BPK Belanda, BPK kita juga punya kesulitan mengakses: (1) data penerimaan pemerintah dari Direktorat Jenderal Pajak, Kemenkeu; dan (2) data dan informasi proyek-proyek pemerintah yang dibiayai utang luar negeri.
Yang terakhir ini karena pemerintah dan kreditor bersepakat, yang mengaudit proyek pembangunan tersebut adalah BPKP. Kesulitan mengakses data dan informasi untuk tujuan audit tersebut juga masih dirasakan BPK ketika akan mengaudit institusi militer yang kuyup rahasia, seperti Kemenhan, TNI, dan BIN.
Efektivitas mekanisme tindak lanjut hasil audit juga harus diperbaiki. Masih banyak rekomendasi BPK yang tidak ditindaklanjuti oleh auditee (kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten, BUMN/BUMD).
Sebagai contoh, pada Januari 2015 ada sekitar 86 temuan senilai Rp3,15 triliun yang bersumber dari APBN (hasil pemeriksaan periode 2009-2014) yang belum ditindaklanjuti oleh 14 BUMN calon penerima Penanaman Modal Negara (PMN).Beberapa BUMN tersebut di antaranya PT Aneka Tambang, PT Angkasa Pura II, PT Garam, PT Pindad, PT Kereta Api Indonesia,PTPN IX, dan Perum Bulog.
Pada saat itu nilai temuan yang belum ditindaklanjuti Bulog mencapai Rp 1,7 triliun. Bebas dan independennya BPK tidak seharusnya menghalangi BPK bekerjasama dengan pemerintah untuk meningkatkan efektivitas mekanisme tindak lanjut hasil audit.
Kalau Moermahadi dan jajarannya tidak bisabisa memperkuat penegakan pilar-pilar independensi tersebut, kita bukan hanya akan gagal meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran negara, melainkan juga berpotensi gagal mencegah dan memberantas korupsi.
DEDI HARYADI, DEPUTI SEKJEN TRANSPARANSI INTERNASIONAL INDONESIA
--------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Emilio Camus, BPK, dan Intosai".