Duit BI Mengalir ke Kajari; Anwar Suruh Oey Bakar Dokumen

Aliran dana Bank Indonesia (BI) ke pejabat di Gedung Bundar tak sekadar isapan jempol. Kali ini keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) mantan Deputi Gubernur BI Iwan R. Prawiranata yang menguatkan adanya aliran dana ke anggota korps Adhyaksa itu.

Dari keterangan BAP yang dibuat 4 Februari 2008 itu, mantan tersangka kasus BLBI tersebut membeber bahwa pada 2003 menyerahkan uang USD 900 ribu kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Pusat Salman Maryadi.

Menurut Iwan, uang tersebut diberikan dalam bentuk pecahan USD 100 dan USD 50 di Hotel Hyatt, Jakarta. Uang tersebut diakui pria paro baya itu sebagai bagian dari dana bantuan hukum Rp 13,5 miliar yang diterimanya dari BI. Tak diketahui apakah penyerahan duit itu terkait penerbitan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) kasus BLBI Iwan oleh Kejagung.

Yang pasti, dalam sidang di Pengadilan Tipikor kemarin (13/8), Iwan justru menarik kesaksian tertulisnya tersebut. Itu terungkap saat dikonfirmasi anggota majelis hakim I Made Hendra Kusuma. ''Keterangan itu sudah saya cabut dan tidak benar,'' ujar Iwan dalam kesaksian untuk terdakwa mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah kemarin.

Selain ke Salman, Iwan dalam BAP mengaku memberikan sejumlah dana kepada seorang pengacara bernama Hendrikus Herikes yang disebut-sebut sebagai perantara ke Salman. Tapi, keterangan itu lagi-lagi dibantah. ''Saya mengada-ada karena ingin cepat selesai (pemeriksaan, Red),'' akunya, sambil memegang mikrofon.

Mendengar itu, I Made Hendra tak begitu saja percaya. ''Bagaimana mengaku mengada-ada. Saudara sebut jumlah, tempat, nama. Pecahannya Anda juga ingat,'' ujar hakim asal Bali itu dengan suara tinggi.

Iwan hanya menunduk. Sesekali dia membasahi bibirnya ketika I Made Hendra mengingatkan keterangan tersebut punya konsekuensi hukum dan pertanggungjawaban kepada Tuhan. ''Anda bisa mengarang banyak sekali, satu BAP,'' ujar mantan notaris itu, menggelengkan kepala.

Tak hanya I Made yang berang. Ketua majelis hakim Gusrizal kembali mengajukan pertanyaan yang sama. Dia mengungkapkan, dari 31 pertanyaan yang diajukan penyidik KPK pada 4 Februari 2008, Iwan mencabut keterangan nomor 25 sampai 31, empat hari setelah pemeriksaan. ''Kekeliruan itu satu kalimat dua kalimat, wajar. Ini beberapa pertanyaan sekaligus,'' ujar Gusrizal.

Hakim berkaca mata itu mengaku heran. Iwan bisa menerangkan bahwa yang mengatur Hendrikus, menerangkan tempat, jumlah uang, dan bahkan bungkusnya, lantas mengaku itu hanya karangan. ''Apa Anda didesak penyidik KPK, (penyidik itu) bisa saya panggil?'' ujar Gusrizal. Iwan pun tampak kebingungan. Dia lantas cepat-cepat mengakui tak ada tekanan oleh penyidik KPK.

Dalam sidang, Iwan yang bersaksi bersama mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono dan mantan Direktur BI Hendrobudiyanto itu mengaku mengajukan uang Rp 13,5 miliar ke BI. Itu terjadi semasa menjadi saksi saat perkaranya disidik kejaksaan. ''Karena saya lihat sebagai saksi saya harus bersiap-siap,'' ujarnya.

Dengan dalih "mengamankan" nilai uang, Iwan mengaku mendepositokan sebagian uang (Rp 7 miliar) atas namanya, anaknya -Siti Rohayati, dan salah satu adiknya. Sebuah rumah, satu unit apartemen, dan sebidang tanah di Cikajang juga dibeli dengan uang itu. ''Sebenarnya saya belum keluarkan dana bantuan hukum itu,'' dalihnya.

Atas bantuan BI, Iwan mengaku pernah melapor ke gubernur BI dan mengucapkan terima kasih.

Temukan Bukti

Penggeledahan KPK di rumah Soedrajad di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, membuahkan hasil. Dari komputer jinjing atau laptop (notebook) milik guru besar Universitas Nanyang, Singapura, itu ditemukan salinan surat yang ditujukan kepada Lukman Boenjamin. ''Ini bukti dari kloning notebook dan flash-disk yang disita dari saksi,'' ujar jaksa penuntut umum (JPU) Rudi Margono.

Dalam surat itu, Soedrajad mengungkapkan keberatannya jika bantuan hukum yang diterimanya Rp 25 miliar dianggap pinjaman murni. Dalam surat itu, pria berkaca mata tersebut juga menanyakan pada Lukman tentang formulasi kalimat bantuan hukum itu. ''Kalau saya bilang untuk menyelesaikan kasus saya, kan sama dengan saya mengatakan melakukan penyuapan. Ini berat sekali bagi saya,'' ujar Rudi menirukan isi surat.

Dikonfirmasi, Soedrajad mengakui surat itu. ''Kalau dalam notebook, mestinya ada,'' ujarnya. Sebelumnya, dia mengaku uang dari BI digunakan untuk diseminasi BLBI, membuat buku, dan penelitian untuk kepentingan BI dan dirinya sendiri. Dalam perkara BLBI, Soedrajad mendapat SP3 dari Kejagung.

Dari uang Rp 25 miliar yang berstatus pinjaman, Soedrajad baru membayar Rp 350 juta dan berjanji melunasinya belakangan. ''Bagus Anda bertanggung jawab, tapi rasanya tidak logis (menanggung utang Rp 25 miliar untuk kepentingan BI,'' tukas hakim Moerdiono.

Sementara itu, Hendrobudiyanto mengungkapkan dana Rp 10 miliar yang diperoleh dari BI sebagai bantuan hukum digunakan untuk diseminasi kepada cendekiawan, politikus, dan wartawan terkait kasus BLBI. ''Ada uang transpor, honorarium, sama-sama wartawan makan bersama,'' ujarnya. Hendro sendiri dijatuhi penjara 1,5 tahun di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA).

Biaya Pesan Sel

Dalam kesaksiannya, mantan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong mengungkapkan, Hendrobudiyanto pernah mengajukan bantuan biaya eksekusi atas putusan perkara BLBI-nya. Untuk apa? ''Berdasarkan catatan Pak Hendro, untuk biaya pemesanan kamar (sel, Red) Rp 50 juta. Tapi tidak dikeluarkan,'' ujarnya.

Soal tujuan bantuan hukum, Oey mengungkapkan, hal tersebut terkait opini publik yang menuding BI bertanggung jawab atas kasus BLBI. Karena itu, perlu diseminasi. ''Opini publik memengaruhi opini penegak hukum,'' ujarnya.

Uang Rp 68,5 miliar yang disalurkan untuk biaya bantuan hukum ternyata belum cukup. Oey mengaku ada pinjaman susulan Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar yang diajukan para mantan pejabat. ''Namun, itu tidak dipenuhi,'' ujarnya.

Dalam kesaksiannya, Oey juga "mencokot" Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution. Menurut dia, semasa menjabat deputi senior gubernur BI, Anwar pernah menyuruhnya memusnahkan dokumen hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) terkait aliran dana BI. Itu disampaikan Anwar saat Oey bersama Aulia Pohan, Rusli Simanjuntak, dan Rizal Anwar Djafaara diundang Anwar di rumahnya untuk makan malam serta membahas penyelesaian aliran dana BI. ''Saya diajak Aulia,'' ujarnya menjawab pertanyaan pengacara M. Assegaf.

Saat Oey menerangkan kronologi peristiwa dan dokumen RDG tentang aliran dana BI, Anwar memerintahkan memusnahkan dokumen yang menyebut namanya, khususnya RGD 22 Juli 2003. ''Kamu musnahkan dokumen-dokumen itu Oey,'' ujar Oey menirukan permintaan Anwar.

Oey hanya mengiyakan, tanpa melaksanakan perintah tersebut. ''Itu karena tidak benar,'' jawabnya. (ein/agm)

Sumber: Jawa Pos, 14 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan