Dosis Berat Pelemahan KPK oleh DPR dikurangi sedikit oleh Presiden, tidak ada Penguatan
Dewan Pengawas
Dewan Pengawas yang diusulkan DPR dan Presiden hanya berubah dari sisi mekanisme pemilihan. Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis ijin penyadapan KPK. Konsekuensi: penyadapan KPK prosesnya lambat, dan bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap. Penyadapan KPK bisa batal dilakukan jika DP tidak memberikan ijin. Akibatnya, kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis. Putusan MK mengatakan bahwa penyadapan berpotensi melanggar privasi individu, oleh karena itu semua wewenang penyadapan, bukan hanya KPK perlu diatur oleh UU khusus.
Argumentasi yang dibangun oleh DPR selama ini pun mudah untuk dibantah. Mereka selalu menganalogikan KPK secara kelembagaan saat melaksanakan tugas dan kewenangan tanpa adanya pengawasan yang jelas. Padahal KPK adalah lembaga negara independen, yang mana sistem pengawasannya sudah berjalan dengan hadirnya kedeputian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Lagi pun di lembaga negara independen pada belahan dunia manapun tidak mengenal adanya organ khusus pengawasan. Lalu untuk sektor penindakan sejatinya yang mengawasi KPK adalah institusi kekuasaan kehakiman. Sederhananya, jika seseorang tidak sependapat dengan status hukum atau tindakan paksa KPK maka ranah pengawasannya ada di PraPeradilan. Begitu pula ketika masuk pada ranah pokok perkara, dalam hal ini yang mengawasi kinerja KPK adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
Kekuatan besar KPK adalah pada kehati-hatiannya dalam menangani perkara korupsi. Hal itu pun pernah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi saat pengujian materi terkait kewenangan SP3 di KPK.
Dengan syarat tiga alat bukti harus dimiliki terlebih dahulu, KPK menetapkan status penyidikan dan menetapkan tersangka. Hal ini terjadi karena tidak ada SP3. Bagaimana dengan nasib tersangka korupsi sakit permanen dan meninggal? Cukup diserahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan supaya Kejaksaan menerbitkan SP3. Dengan wewenang SP3 yang dimiliki Kepolisian dan Kejaksaan, kasus-kasus korupsi dan pidana lain banyak yang mangkrak, tidak jelas statusnya, dan semakin tidak memberikan kepastian hukum.
Syarat SP3 dalam KUHAP ada tiga, yakni tidak ada bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana, atau tersangka meninggal dunia. Sedangkan dalam draft aturan SP3 KPK adalah soal waktu, yakni apabila lewat 1 tahun perkara dalam penyidikan, maka harus diberikan SP3. Maka itu dapat dikatakan bahwa draft tersebut keliru.
Konsekuensi: KPK tidak dapat menangani perkara korupsi yang kompleks (aktor, kerugian negara, kejahatan bersifat lintas negara), tapi hanya bisa menangani kasus kecil, yang cepat bisa diproses.
Penyelidik dan Penyidik PPNS
Selain penyelidik dan penyidik Kepolisian dan Kejaksaan, penyelidik dan penyidik KPK dari PPNS. Konsekuensi: KPK akan berjalan seperti siput, karena faktanya PPNS yang ada hari ini kinerjanya buruk, tidak dapat menangani kejahatan besar. PPNS di KPK juga harus tunduk pada mekanisme korwas yang dikendalikan oleh Kepolisian. Alih-alih KPK menjadi lembaga yang mensupervisi dan mengkoordinasi penanganan pidana korupsi, penyelidik dan penyidik KPK disupervisi oleh Kepolisian. Pegawai KPK yang di-ASN-kan akan ditinjau lagi perhitungan penggajian yang secara ideal justru telah terbentuk di KPK. Dengan sistem penggajian dua jenis, gaji pokok dan kinerja, kontrol atas kinerja pegawai KPK sangat baik. Dengan mekanisme itu, KPK dapat membangun sistem dan aturan kode etik yang kuat, mudah pula dipecat jika melanggar kode etik, sesuatu yang dikeluhkan oleh Presiden Jokowi pada kasus ASN pada umumnya.
Jakarta, 13 September 2019
Indonesia Corruption Watch