Desentralisasi Perparah Korupsi
Implementasi desentralisasi atau otonomi daerah dinilai telah memicu terjadi penyebaran praktik korupsi yang lebih parah dibandingkan saat era Orde Baru. Peluang korupsi di era otonomi daerah ini menjadi lebih terbuka.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida mengungkapkan, saat Orde Baru, pelaku korupsi hanya orangorang tertentu karena peluang dan kesempatan terbatas. Hanya mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaanlah yang bisa melakukannya. Banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kala itu, ujarnya, yang hidupnya sederhana hingga masa baktinya berakhir.
“Berbeda dengan apa yang diperlihatkan para wakil rakyat sekarang ini yang justru hidup lebih mewah,” ungkap Laode dalam diskusi “Otonomi Daerah dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Daerah”yang digelar SINDO dan MNC Group di Gedung MNC Tower,Jakarta, kemarin.
Dalam variabel investasi, selama kurun sembilan tahun terakhir pelaksanaan otonomi daerah dan investasi belum memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan daerah. “Patut diduga, investasi yang masuk adalah investasi yang terkait politik atau dorongan untuk kepentingan retorika politik,”urainya.
Karena itu,menurut Laode, tidak aneh jika kemudian banyak orang yang demikian tertarik untuk menjadi kepala daerah di wilayah yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Hampir dipastikan mereka akan mendapatkan fee dari investasi yang ditanamkan. “Pasti ada fee. Belum lagi yang ‘di bawah meja’ atau malah ‘di atas meja’ sekalian, ”katanya.
Direktur Fasilitasi Kepala Daerah,DPRD,dan Hubungan Antarlembaga Ditjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyatmadji tidak menampik ada praktik korupsi yang bermunculan pascapelaksanaan otonomi daerah. Apalagi di banyak daerah, untuk bisa menjadi kepala daerah, seseorang harus mengeluarkan biaya besar.
Biaya itudiantaranya digunakan untuk mencari kendaraan politik,yakni partai politik pengusung. Syarif pun mengakui peran partai politik dalam mendorong perilaku korupsi seorang kepala daerah cukup besar.Partai politik yang berhasil memenangkan calon yang diusungnya selama ini acapkali meminta “upeti” dari kepala daerah terpilih sebagai bentuk balas budi.
Wali Kota Solo Joko Widodo mengakui ada biaya politik yang harus dikeluarkan ketika mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo pada periode pertama.“Ya, itu untuk keperluan kampanye, tapi kalau untuk balas budi ke partai,tidak ada,”ungkapnya. fefy dwi haryanto
Sumber: Koran Sindo, 16 Juni 2011