In-Depth Analysis: Memotong Kinerja KPK
Pemerintah memotong anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk menekan beban anggaran negara yang tertuang dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-Langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja K/L dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-377/MK.02/2016 tanggal 13 Mei 2016 tentang Penghematan/Pemotongan Anggaran Belanja K/L Tahun Anggaran 2016.
Alokasi yang dipotong sebesar Rp69,6 miliar atau 6,5 persen dari total anggaran KPK 2016 sebesar Rp1,06 triliun. Angka tersebut berasal dari efisiensi belanja operasional senilai Rp2 miliar dan efisiensi belanja lainnya sebesar Rp67,6 miliar. Walau Komisioner KPK, Basaria Pandjaitan, menyatakan bahwa pengurangan anggaran hanya berdampak terhadap efisiensi sejumlah anggaran dan penundaan kegiatan yang belum terikat kontrak tapi pada dasarnya KPK keberatan dengan kebijakan tersebut (www.kompas.com 7/6/15).
Pemotongan anggaran KPK memang bukan yang pertama. Pada tahun 2013, tepatnya di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hal serupa pernah dilakukan. Alokasi anggaran lembaga anti-rasuah tersebut dipangkas sebesar Rp44,1 miliar. Beberapa kegiatan penting KPK, termasuk untuk pemberantasan korupsi turut dikurangi.
Keputusan pemerintah tetap memotong anggaran KPK patut disayangkan. Sebab apabila menganggap pemberantasan korupsi sebagai prioritas sekaligus prasyarat agar berbagai program pembangunan berjalan tanpa penyimpangan, lembaga tersebut mestinya masuk dalam pengecualian. Pemotongan anggaran pasti akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Padahal selama ini KPK memiliki kinerja yang sangat baik dalam membongkar berbagai kasus korupsi yang menyebabkan makin meningkatnya beban anggaran dan berkurangnya pendapatan yang melatarbelakangi terjadinya pemotongan anggaran kementerian dan lembaga secara masal. Mestinya kontribusi utama yang diminta dari KPK dalam penghematan anggaran bukan dengan mengurangi anggaran secara langsung, tapi menyelamatkan anggaran negara yang jumlahnya jauh lebih besar dari ancaman korupsi.
Apalagi menurut mantan komisioner di Independent Commission Against Corruption (ICAC), lembaga Anti-Korupsi Hongkong, Bertrand de Speville, seharusnya anggaran lembaga antikorupsi di sebuah negara mencapai 0,5 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adanya jaminan anggaran yang memadai akan membuat lembaga antikorupsi bisa menyediakan sumber daya dan infrastruktur dalam memberantas korupsi.
Kenyataannya, saat ini alokasi anggaran untuk KPK hanya sekitar 0,05 persen. Jauh dari pagu ideal seperti yang diusulkan Bertrand de Speville. Kecilnya alokasi anggaran membuat KPK masih bergelut dengan berbagai masalah mendasar seperti kurangnya personal dan infrastruktur penunjang. Jadi pemerintah mestinya menambah bukan mengurangi anggaran seperti yang sekarang dilakukan.***